Wednesday, April 16, 2008

Working Moms, sebuah fenomena...

Pagi ini pikiran saya tidak bisa lepas pada topik yang sedang hangat dibahas di milis alumni almamater suami saya (Kapal ITS). Sebuah hal sederhana yang kebetulan pernah saya alami sendiri, ttg ibu bekerja dan bagaimana nasib anak-anak yang ditinggalkan dirumah.

Permasalahan diangkat oleh seorang teman yang sedang kebingungan. Dia dan istrinya bekerja di luar rumah di Jakarta (bisa dibayangkanlah, jam kerja dan jam perjalanan rmh-kantor pp di Jakarta). Nah, dia meminta saran ttg mana yang lebih baik dilakukan untuk menjaga anaknya dirumah.

Berikut saya cuplikkan beberapa respons yang amat menarik. Identitas narasumber saya hilangkan demi menjaga privatisasi. Dan juga, saya bahasa Indonesiakan beberapa istilah tanpa mengubah makna (maklum, yang ngobrol arek Suroboyoan, jadi lebih komunikatif kalo berbahasa nge-ludruk.. he he he).

....saya pribadi meminta bantuan 'asisten' untuk mengurus anak dan RT sampai ibunya pulang kerja...
untuk itu sering-sering saya telp juga ke rumah...agar komunikasi tetep lancar dan harmonis.... jadi anak kita nggak merasa jauh dari orang tua kandungnya...

...sekarang susah banget cari asisten yang baik, dan mau menjaga anak sepenuh hati.. Tetep saja ibunya gak bisa di gantikan sama asisten yang di maksud, malah saya ada pengalaman tetangga saya, anaknya malah sayang banget sama asisten ketimbang mamanya... Kalau asisten itu pulang kampung, si anak malah jadi sakit. Dilain pihak kalau kita dapet asisten yang kurang baik, maka sifat-sifat si asisten akan di tiru sama anak, karena bagaimanapun juga sepanjang siang hari si anak di jaganya, sedangkan si ibu baru pulang sore hari pulang kerja...

Kalau ngandalin orang tua/mertua, sampai kapan..? Pasti suatu saat hari dimana orang tua/mertua gak bisa menolong lagi.... Dan semua harus di lakukan sendiri oleh keluarga kita..

....cara nyiasatinya, si ibu aktif ngawasi kerja baby sitternya.
Sehari meskipun dia dari kantor, dia telpon ke rumah bisa tiga sampai empat kali buat nanyain anaknya or ngobrol di telpon ma anaknya. Emang bukan cara yg efektif, tapi paling tidak itu bentuk kepedulian ibu.

Nyari baby sitternya juga ke yayasan penyalur tenaga kerja. Dites dulu sebelum diterima. Trus kalo hari libur kedua ortu bener2 full dirumah ngurus anaknya. Itu tebusan buat hari Senin-Jumat mereka yg hilang di kantor. Sampai sekarang sih
pertumbuhan anaknya baik2 aja tuh. Kata orang sih, yg ditekankan ngurus anak itu kualitasnya bukan kuantitas ketemunya.

....hanya di sini ada pandangan kualitas lebih penting dari kuantitas.....
Jadi nanti kalo si anak sudah besar maka akan kurang lebih (mungkin) begini: Ngurusin orang tua itu cukup dari Singapore (mungkin kerjanya di Singapore nantinya...) cukup di cek/ditelpon ke pembantu dirumah (yang menemani orang tua karena orang tua tinggal 1 ibu/bapak ) apakah ortunya sehat. Kalo agak sakit ya tinggal suruh pembantu mengantar ke rumah sakit trus telfon rumah sakit apakah sakit tuanya kritis atau tidak. Jadi nggak perlu buru-buru pulang nengok ke kampung halaman karena harus bekerja dan menjaga karier.
Dan kembali ke ajaran ortunya juga, yang mengatakan kunjungan, menemani dan sebagainya tidak penting. Pertemuan atau kunjungan cukup 2 tahun sekali ... karena kualitas kunjungan yang penting bukan kuantitasnya......

....sebagai anak yg dulu ibu bapak kerja, kadang merasa iri juga dg yang ibunya ada dirumah. Ada pembantu waktu itu tapi gak bisa ditanyain PR, sukanya dengerin sandiwara radio mulu kadang2 nyanyi-nyanyi mulu. Kalau anak masih bayi belum ngerti apa2 masih mending kebutuhannya hanya makan tidur, saat anak mulai usia sekolah trs suka tanya2 kalo pembantunya pendidikannya minim jawaban yg didapat anak pasti bisa dibayangin, belum lg soal tayangan TV apa bisa ortu bisa kontrol sampai segitu detail?

...ada penitipan anak dengan banyak nanny2 berpengalaman. Nanny itu memposisikan dirinya bukan sebagai saingan ibu asli. Disitu si anak belajar bersosial. Si nanny mengajarkan banyak hal dari mulai agama sampai kehidupan social dalam takaran anak. Nanny juga menjelaskan dgn caranya bahwa ortu nya kerja untuk si anak, unt kebahagian si anak, ortu sayang kepada anak makanya ortu kerja. Kalo sabtu minggu mereka sekeluarga meluangkan waktu pergi bersama. Tiap malam masih bisa makan malam bareng. Itu lah saat anak-ortu berinteraksi....

Begitulah yang saya baca. Amat sangat menarik dan menggelitik. Saya sendiri dulu adalah ibu bekerja dengan 2 anak balita dirumah. Saat itu everything looked ok. Tapi apakah benar-benar oke?

Tidak. Saya tidak oke. Saya menderita. Karena saya merasa bersalah meninggalkan anak saya dirumah, untuk mengejar sesuatu yang (menurut saya pribadi) sebetulnya tidak terlalu penting. Ironis sekali ketika saya berpikir: saya bersekolah tinggi, banyak membaca buku bagus, banyak bergaul dg orang pintar, tapi anak saya diasuh oleh orang yang hanya sekedar lulus pendidikan menengah.

Saya produk rumah tangga dengan kedua ortu bekerja. Tuntutan ekonomi keluarga kami waktu itu memang mengharuskan kedua orang tua saya untuk bekerja di luar rumah. Saya dan kedua saudara kandung saya diasuh oleh pembantu. Saya bahagia. Adalah tidak benar kalau dibilang saya tidak mempunyai masa kecil yang menyenangkan. Tapi, yang terjadi adalah, saya tidak mempunyai ikatan yang erat dengan kedua ortu saya. Jelas kami saling menyayangi satu sama lain. Tapi hanyalah tidak dekat.

Dengan bercermin pengalaman saya sendiri, saya ingin segala sesuatunya menjadi lebih baik bagi saya dan anak-anak saya.

Ibu bekerja jelas bukan sesuatu yang salah. Apalagi kalau memang keadaan mengharuskan demikian. Tidak sedikit anak2 yang tumbuh dan menjadi orang sukses adalah produk dari rumah tangga dengan kedua orang tua bekerja. Ditambah lagi, banyak orang berpikir, tuntutan zaman tidak lagi membuat seorang ibu hanya 'sekedar' menjadi ibu rumah tangga.

Well, semoga tulisan ini bukan sesuatu yang menyinggung atau menyudutkan para wanita bekerja. Just want to share what I got today from mail chain.

No comments: