Tuesday, January 28, 2020

Drama itu....

Walaupun rencana liburan ke Iran ini mudah dan lancar, sebetulnya ada drama di balik itu.

Drama?
Hahaha...mungkin agak berlebihan kalau disebut drama ya.

Jadi begini ceritanya.

Seminggu setelah memutuskan untuk pergi ke Iran (sudah apply visa online tetapi belum diambil), tiba-tiba menyeruak kabar bahwa Iran rusuh.
Asal muasalnya karena kenaikan BBM.
Di semua berita dari channel berita yg terpercaya menyatakan, bahwa kerusuhan akibat demonstrasi kenaikan BBM ini merata terjadi di seluruh negara.

Blaik!

Tiket sudah dibeli.
Dan karena pingin ngirit, Mas Bojo membeli tiket promo yang sepromo-promonya.
Akibatnya, tiket itu tidak bisa direschedule maupun di refund... 😥

Tapi saya masih rada optimis nih.
Biasanya demo2 kayak begini seminggu juga selesai.
Jadi, santuy saja lah....

Sekitar pertengahan November, ketika saya mau recek semua bookingan tempat menginap dan cek aplikasi visa online, tidak ada satupun web tersebut bisa dibuka.
Ada apa ini?
Saya cek kalender, belum waktunya Indihome saya diisolir oleh Telkom.
Atau, karena kuota habis gegara Nino sering main game online?

Ga sengaja iseng2 buka YouTube.
Ada melintas berita ttg internet shutdown di Iran.
Mulai nih, hati rada deg2an ga enak.
Kl sampai pemerintah mematikan jaringan internet, pasti ada apa-apa....
Dan semakin saya mencari berita ttg Iran, semakin ciut nyali untuk kesana.

Belum kelar menimbang2 mau jadi berangkat ke Iran atau tidak, timbul drama baru.
Saya yang biasanya tanggal2 segitu datang bulan, ternyata sudah 3 minggu si "bulan" tidak kunjung datang berkunjung.
Haduh!
Masa hamil lagi sih....
Dua tahun sebelum ini, saya juga keguguran akibat dari hamil yg tidak direncanakan 😒
Kagak ada kapoknya!

Tepat 4 minggu dari seharusnya saya haid, saya beli test pack.
Dan seperti yang sudah kami sangka sebelumnya, hasil test positif.
Beberapa jam kami tercenung2, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.... 😅

Setelah berhasil mengumpulkan akal sehat, saya berpikir mungkin ini "signs from the universe" bahwa kami memang tidak boleh pergi ke Iran.
Yasud lah...
Diikhlaskan saja tiket yg hangus itu.
Insyaallah kalau masih punya rejeki, kami bisa kesana suatu hari nanti.....

Oktober 2019 (2)



Saatnya apply visa, then.

Dari info sana sini, ternyata mengurus visa Iran lumayan gampang.

1. Bisa apply langsung di Kedutaan Iran sambil membawa dokumen persyaratan.
Beberapa hari kemudian visa jadi.

2. Bisa apply mengisi formulir online dan memilih tempat pengambilan visa setelah jadi.

3. membeli VOA di terminal kedatangan di Iran.

Well, setelah menimbang2, kami memilih opsi yang paling murah: mengisi formulir online dan mengambil visa di Kedubes Iran di Jakarta.
Walaupun ternyata opsi tersebut menjadi tidak murah karena ditambah dg tiket pesawat pp Jogja-Jakarta 😊

Wednesday, January 22, 2020

Oktober 2019 (1)



Untuk liburan Desember, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke Iran.

Iran?

Yes, Iran!

Why?
Combination of factors:
Pak Muchtar nggak mau ke Oman.
"Masa kerja di Oman, kalau liburan disuruh ke Oman lagi?"
Fine!

Daffa cuman mau ikut kalau perginya ke Iran.
"Kalau selain ke Iran, Abang di rumah aja lah, mendingan ngerjain event sama teman2..."
Hmmm...

Saya?
Kemana ajalah, yang penting piknik!

Nino?
"Terserah aja mau pada kemana...."
Dasar bocah penurut... 😛


Jadi,
Sebenernya yg minta Iran dijadikan destinasi kami itu si Abang.
Gimana asal muasalnya sampai milih Iran?

Jadi, suatu hari sepulang sekolah (SMP) dia mampir ke Gramedia dekat sekolah.
Trus ada beberapa kotak di halaman toko, berisi buku-buku yang sdg diobral.
Nah, ada buku ttg Travelling Iran yg nyelip disitu.
Dibelilah buku itu, dibawa pulang dan dibaca (beneran dibaca loh. Yang sebenernya untuk Daffa, ini adalah kejadian luar biasa dia baca buku yg tidak diwajibkan untuk dibaca... )
Sejak itu, dia tidak berhenti "mempengaruhi" kami untuk memutuskan pergi ke Iran.

Tuesday, June 14, 2016

Konsisten

Kapan hari itu, saya makan siang agak sore di warung lotek Bu Bagyo Sagan.
Ini warung lotek yang terkenal dengan keenakan dan kemurahan harganya di Jogja. Oleh sebab itu, pemilihan waktu makan di warung ini sangat penting. Terutama untuk menjaga hati dan perut supaya tidak terlalu pedih menunggu pesanan yang agak lambat tiba di meja kita.
Saat yang paling tepat untuk makan disini adalah selewat waktu makan siang khalayak ramai.

Buat saya, warung lotek Bu Bagyo Sagan ini menduduki peringkat kedua sebagai warung lotek yang saya rekomendasikan untuk didatangi...
Posisi kedua setelah warung lotek Bu Bagyo Kolombo.
Kenapa peringkat kedua?
Rasa lotek di kedua warung itu kurang lebih sama. Harga seporsi lotek plus teh panas tawar juga kurang lebih sama.
Yang menjadi nilai minus warung di Sagan ini adalah kasir yang nyebelin dan pelayan yang sering salah bikin pesanan (yang sudah jelas tertulis di secarik kertas pesanan).

Tapi, sudahlah....
Yang paling penting bagi saya, ketika lapar menyerang, mata berkunang-kunang, pikiran macet untuk diajak beride.... segeralah menuju ke warung makan terdekat!

Sambil menikmati lotek pesanan khusus (dobel bakwan, pake telur rebus, tambah potongan tahu bacem), saya mengamati sekeliling.
Sengaja saya duduk dekat kasir, karena kepengin memantau gerak gerik bu kasir...
Hihihi....
Saya penasaran aja. Kenapa sih, bu kasir ini begitu galak dan nyolot kepada kebanyakan pembeli?
Toh kami selalu membayar tanpa kurang barang yang kami pesan.
Lagipula, gimana bisa kami bayar kurang? Lha wong pesanan dibuat setelah pembayaran selesai dilakukan.

Setengah piring berlalu, ketika seorang wanita bule (20 thn-an) datang.
Dia menuju ke tempat bu kasir untuk menuliskan makanan pesanannya dan membayar.
Saya sudah bersiap-siap dengan prasangka bahwa si ibu kasir akan memperlakukan mbak bule ini dengan lebih ramah daripada memperlakukan kami para pembeli pribumi.

Eh...
Ternyata saya salah!
Bu kasir ternyata tetap konsisten dengan kejudesannya kepada pembeli.
:D :D :D

Maafkan saya, Bu Kasir.
Saya hapus label rasis yang hampir saja saya sematkan pada anda.
Ternyata sifat judes anda tidak lekang dan pudar oleh siapapun yang anda hadapi.





Saturday, October 25, 2014

Kemandirian anak

Kebanyakan ortu jaman sekarang kepengin sekali anak-anak mereka mandiri secepat mungkin.
Tak terkecuali saya.

Umur 4 tahun, si Abang sudah saya ajari untuk bisa makan sendiri tanpa perlu disuapin.
Pernah waktu itu saya sekeluarga berkunjung dan menginap di rumah paman. Beliau terheran-heran dan menegur saya karena membiarkan Abang yg waktu itu baru 4,5 tahun makan tanpa disuapin.

Lain Abang lain pula Nino.
Si bontot ini malah sejak bayi sudah saya biasakan tidur di tempat tidurnya sendiri di kamar anak-anak (sekamar dg abangnya), dengan berbekal baby monitor.
Dan tentu saja ini menuai protes banyak orang yang (waktu itu) saya kategorikan sebagai old fashioned people. Tak kurang-kurang, mertua saya mengatakan bahwa saya ortu yg tega pada anak.
Masa sih, anak umur 2 thn harus tidur tanpa digendong.

Waktu itu saya adalah wanita bekerja.
Of course, dengan waktu yang minim dipunyai untuk bersama dg anak-anak, saya menginginkan quality time bersama mereka.

Definisi quality time kala itu, bagi saya kira-kira adalah begini: saya menghabiskan sisa waktu saya hari itu bersama anak-anak untuk mempelajari sesuatu, bermain lego, jalan-jalan ke suatu tempat, membaca buku bersama-sama, dlsb.
Dan tentu saja, dalam kriteria saya,  segala kegiatan yg menyenangkan tersebut minus hal-hal tidak penting sebangsa: meyuapi makan, memandikan, memakaikan baju, ngelonin tidur....

Ide tentang kemandirian anak yang berkembang dalam pikiran saya, semakin dipupuk dengan banyaknya artikel dan mail chains dalam milis-milis parenting yang saya ikuti.
Anak harus sedini mungkin dilatih untuk mandiri!

Abang dan Nino memang menjadi anak-anak yang mandiri.
Kemandirian mereka amat sangat mempermudah hidup saya sebagai wanita bekerja, dimana saya harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar meeting pagi dengan client dan pulang kadang selepas maghrib baru sampai di rumah (kalau saya cukup beruntung tidak ada masalah di tempat kerja).

Kala itu.



Dan sekarang saya adalah ibu di rumah. Kegiatan utama saya seputar anak-anak, dapur, suami, balik lagi ke anak-anak.

Terkadang saya sering menyesali keputusan untuk memandirikan anak-anak terlalu dini. Sering saya kangen menyuapi mereka. Saya kangen pada 'rasa dibutuhkan' oleh anak-anak.

Abang bahkan sering meminta saya untuk tidak usah mengantar berangkat lomba, bahkan apabila lomba itu diadakan di luar kota. Dia ingin pergi sendiri, tanpa mamanya, hanya bersama teman-teman dan gurunya....

Rasanya mereka tumbuh terlalu cepat ya....

Seandainya dulu saya tahu, bahwa mereka akan tumbuh secepat ini, saya akan lebih sering ngelonin mereka, menyuapi makan, memandikan, memilihkan baju untuk mereka pakai....


Friday, October 24, 2014

Kembali ke.... laptop!

Lap lap meja belajar lageee...

Buka buka buku Om Oz Yilmaz lageee...

Siap siap bakal sering begadang lageee....

Besok mulai naik bis dan gendong ransel laptop lagee....



Arisan, libur dulu....

Rapat Komite Sekolah, direm dulu...

Shopping shopping, bikin list aja dulu....


Sarapan bareng mommy solehah?
Nah, kalo yg satu ini, tetep harus jalan....
demi menjaga supaya pikiran tetep sehat
*eh, atau sebaliknya ya? =D







.

Tuesday, October 21, 2014

Di ujung pagi bersama Pak Pulisi....

first posted on Apr 14, '10 5:06 AM

"Maaf, ada apa ya Pak?" demikian pertanyaan pertama yang dilontarkan suami saya kepada Bapak Aparat kepolisian ketika mobil kami dipersilakan untuk berhenti di bahu jalan, sedikit di luar kota Jombang.

"Saudara tahu tidak, kalau garis marka yang lurus dan tidak terputus yang membatasi jalanan dg bahu jalan itu berarti Saudara tidak boleh berpindah jalur" Pak Aparat menjawab dengan nada tegas, lugas dan jelas...

Suami saya manggut-manggut sembari menahan nyengir keki. Beberapa ratus meter dari tempat mangkal Bapak2 Aparat ini, kami memang mendahului barisan beberapa trailer yang berjalan sekitar 40 km/jam dari sisi sebelah kiri. Salah? Lha ya sudah jelas iya....
Walaupun dalam hati kami agak sedikit mencari pembenaran dari tindakan kami: 'Masa sih, harus merayap 40 km/jam sampai beberapa kilometer berikutnya untuk bisa mendahului... Toh di sisi sebelah kiri kosong melompong gitu loh.....'

Dan karena menyadari memang kami melakukan kesalahan, suami saya terima2 saja diwejang oleh Bapak2 Aparat tadi.
Dan seperti sudah diduga, diujung wejangan singkat tsb, seorang Bapak Aparat yang mungkin bertugas sebagai sekertaris rombongan mengeluarkan segepok slip tanda tilang yang berwarna putih dengan tembusan kuning dan merah jambu.

"Jadi, Saudara mau menitip berapa untuk biaya sidang pelanggaran ini?" seorang Bapak Aparat berkumis tebal langsung bertanya to the point, tanpa tedeng aling-aling, tanpa merasa sungkan...
Kebetulan, terlihat beberapa supir kendaraan (4-5 orang) yang ikut terjaring hampir bersamaan kami mengeluarkan dompet dan masing2 'menyetor' Rp. 50.000 kepada Bapak Aparat bendahara rombongan....

Ke(tidak)betulan, semenjak berangkat dari rumah kami tidak menemukan lokasi ATM dipinggir jalan yg kami lalui. Sementara uang di dompet, kalau dikumpul2kan (beserta beberapa lembar ribuan untuk cadangan ongkos parkir) paling banter hanya Rp. 70 000.
Nah, kalau kami sedekahkan 50rb utk bapak-bapak aparat berkumis itu, bagaimana pula kami harus memberi makan 4 perut dg uang 20rb?

"Kebetulan saya tidak membawa banyak uang, Pak. Sementara saya juga tidak bisa tinggal lama di kota ini untuk ikut sidang. Saya minta slip biru saja supaya bisa membayar denda di BRI.." jawab suami saya.

Kok ya pas banget, beberapa hari ini kami sering mendiskusikan ttg slip biru yang memudahkan para 'tertilang' dan mengurangi kesempatan para polisi nakal untuk memancing di air keruh....

Eh, lha kok nggak disangka... Bapak Aparat yang menyuruh suami saya minggir tadi malah marah... Seorang aparat yang lain ikutan pula nimbrung memojokkan suami saya, menegaskan bahwa dia saksi dari pelanggaran ini. Kalo suami saya gak terima ditilang, boleh melaporkan nama dia ke kantor, sambil menuding2 name-tag di dadanya...

"Nih, catat nama saya ! Laporkan ke kantor polisi sana kalau Saudara gak terima ! Saya gak takut !"

Loh...loh....

Piye toh, Pak Pulisi....
Lha wong suami saya sudah jelas mengaku bersalah karena melanggar marka... sudah mau menerima ditilang.... cuman memang minta slip biru supaya gampang bagi kami....

Lah, dasar suami saya juga....
Gak terima dia dibentak2 sambil ditarik2 lengannya kesana kemari kayak bgitu... Ikut ngotot juga dia.....

Saya di mobil bersama anak-anak cuman bisa kuwatir sambil harap2 cemas... "Mbok ya sudah toh, Pakne..." kata saya dalam hati saya sambil tetap mengawasi diskusi yang kelihatannya sudah dikuasai emosi....

Untung ketua rombongan Pak Bos Aparat Kepulisian yang selama itu hanya duduk manis di tempat teduhan turun tangan dan melerai...

"Mas, kalau di sini kami tidak menyediakan slip biru.... Pembayaran disini masih belum online kayak di kota Mas sana.... Ini kan kota kecil, Mas... Sudah, Mas boleh pergi lagi. Ini SIM dan STNKnya..."

Loh, kok nyuruh perginya gampang banget gitu.... Gak sinkron sama pertunjukan marah2 sebelumnya?

Ohalah, setelah diamati, kami baru maklum.... Kalau mereka berhenti terlalu lama pada satu kasus yang gak jelas bisa menghasilkan duit atau tidak, momen yang ada (para mobil yang melanggar marka, red.) bakal banyak yang terlewat.... yang berarti terlewat juga 50rb x __ mobil, yang (bisa) berarti gak bisa ajak anak istri shopping akhir minggu besok....

Dan tetes pertama hujan yang menemani perjalanan panjang kami hari itupun turun.
Bergegas kami meninggalkan Bapak-Bapak Aparat Kepolisian penuh dedikasi yang tetap bertugas ditengah rintik hujan demi ketertiban dan kenyamanan para pemakai jalan....

Sekelumit wajah polisi bangsaku.....