Thursday, August 30, 2007

Elegi jajan pasar

Beberapa hari ini kok saya fascinated sama yang namanya jajan pasar. Yup, jajanan yang murah, meriah, tidak bergizi dan jelas tidak higienis. Biasanya hubby tuh yang suka beli2 jajanan yang menurut saya tidak higienis, dan saya amat sangat jarang menyentuhnya. Kuwatir sakit perut atau alergi...(Beneran nih. Sekali dalam tiga kali saya makan sesuatu yang diragukan kehigienitasannya, saya bermasalah dg perut. Efeknya jadi serasa makan broklat. Pokoknya sengsara deh...)

Dua hari yang lalu, sepulang saya dari tempat senam, saya sempatkan untuk belanja di pasar. Kebetulan di dekat pintu keluar gym, ada ibu2 setengah baya yang berjualan pecel, mi dan jaek (ini istilah para pembeli yang mengerumuni ibu tersebut. Saya curiga, sebenernya kata aslinya adalah Cap Cay, yang sering terpelesetkan menjadi Cap Jaek). Ada juga tahu bacem, tempe bacem, bongko mlandingan/lamtoro (yang menurut istilah saya sbg Temanggung adalah pelas). Sebenarnya sering saya lewat di depan meja ibu itu dan tergoda untuk ikut mengerubungi dan membeli. Sempat waktu itu saya sudah antri agak lama, tapi mengurungkan niat gara-gara saya lihat lalat-lalat yang begitu lincahnya bermanuver diatas dagangan beliau.

Tapi entah kenapa, dua hari yang lalu itu kok saya agak tidak begitu mempermasalahkan ttg higienitas. Saya mantep aja ikut antri, saking tergodanya melihat Jaek yang teronggok dalam baskom. Sebenernya jujur aja, saya agak ragu juga belanja makanan disitu. Selain lalat2 yang alhamdulillah sudah banyak berkurang dibanding kunjungan saya semusim yang lalu, si ibu penjual rupanya sedang agak flu. Beliau terbatuk2 di atas dagangannya tanpa ada rasa rikuh. Boro2 pake masker, wong pake tangannya aja ndak sempat. Tapi saya tetep bergeming antri, dalam hati saya, 'Biarin deh, after so long time... Itung-itung nostalgia.'

Singkat cerita, sore itu saya pulang dg membawa oleh2 4 bungkus mie-jaek. Rencananya sih sebungkus buat saya (super pedas), sebungkus buat si Embak, sebungkus buat Dik Oki, dan sebungkus sisanya dibagi berdua untuk anak-anak. Biar mereka juga belajar mengenal jajan pasar gitu.

Begitu sampai dirumah, saya buka satu bungkus dg tidak sabar. Bener2 yang sudah memendam nafsu semenjak dari pasar tadi. Nyammmm.... huenak, rek !! Ludes satu bungkus jatah saya tanpa bersisa. Sempat juga saya ambil separo jatah Dik Oki yang tidak tersentuh. Saya lirik jatah anak-anak. Anak-anak masih jalan2 sore sama si Embak. Hmmm.... sepuluh menit mereka nggak datang, wasalam deh sama bungkusan itu...

Belum lagi sepuluh menit berjalan, tiba2 saya merasakan sesuatu yang aneh di belakang telinga. Berasa tebal dan gatal. Eh, tidak lama kemudian, rasa itu menjalar ke leher dan punggung. Saya coba lihat dari cermin, ternyata leher, dada, punggung dan telinga saya merah berbentol-bentol. Hwarakadah.... guatalnya minta ampun... Tidak diragukan lagi, saya alergi dg salah satu unsur penyusun jajan pasar tadi. Huah... hilang deh nikmat yang sudah mulai menjalar sampai ke hati...

Batal jugalah sebungkus jatah untuk anak-anak. Soalnya menurut histori keluarga kami, apa yang saya tidak bisa makan, sebaiknya anak-anak juga tidak makan. Sejarah alergi mereka lebih parah dari sejarah alergi saya.

Pagi tadi, saya malas mo berangkat belanja ke warung. Saya cegat embak penjual sayur naik sepeda yang sering lewat di blok kami. Waktu ngecek apa yang dia bawa, saya lihat beberapa bungkus tiwul dan gatot. Waahhh.... mata saya yang langsung berbinar-binar mengenali jajan pasar paling favorit saya: tiwul !! Sesaat saya inget alergi saya dua hari yll dg mie-jaek dari pasar. Tapi ini kan tiwul. No harm gitu loh... Iya, kan? Ndak ada sejarahnya orang keracunan atau alergi tiwul, kan? Orang Gunung Kidul malah makan tiwul sebagai pengganti nasi (iya nggak, sih?). Dengan berbekal pemikiran2 tadi, saya borong 3 bungkus tiwul si embak. Dan sodara-sodara.... ini adalah tiwul terenak yang pernah saya makan. Mak nyussss.... bener !! Dan saya aman sentosa selamat sampai detik ini saya menulis di blog ini.

Wednesday, August 29, 2007

Hikmah dari segala sesuatu

Dua hari sudah berlalu semenjak kejadian 'weekly report' yang benar-benar membuat saya gundah gulana. He he he...

Tapi waktu itu saya emang bener2 yang kacaw balaw kalo nggak dibilang stress. Perut sampai berasa mual sekali. Hari itu memang saya berencana puasa, walopun gak makan sahur. Sampai di Gramedia, saya sudah tidak bisa lagi menahan mual. Duh, asam lambung saya berulah lagi nih. Akhirnya saya mampir ke Dunkin Donut untuk secangkir dark coffee double sugar dan sepotong donat coklat. Tapi tetep aja keringat dingin dan mual serta perasaan tidak enak tidak bisa hilang, sampai akhirnya saya bertemu sama Miss Deti.

Begitulah, sodara-sodara, perasaan seorang emak terhadap permasalahan buah hatinya. He he he, atau cuman saya aja ya yang agak berlebih-lebihan? Anyway....

Semenjak hari itu, saya memang jadi lebih sabar dan tidak mudah marah pada anak-anak. Juga less ngototnya. Biasanya kalo saya lagi asik main komputer, Daffa saya marahin kalo merengek2 minta ditemani mewarnai atau menggambar. Jawaban saya selalu sama: 'Abang, please grown up ! Mama is sitting just 2 mtrs from you..' Sekarang baru saya melihat. Ketika Daffa minta 'ditemani', maksud sebenarnya adalah saya ada di sampingnya, memperhatikan dia.

Dari buku2 mewarnai dan pre-writing yang saya belikan untuk latihan dirumah, saya bisa melihat kepanikan Daffa ketika garis yang ditariknya di pre-writing section, out of track. Atau ketika warna crayonnya keluar dari garis gambarnya. Jadi, sebenarnya fungsi dia minta saya duduk disampingnya adalah untuk mengatakan bahwa kesalahan yang dia lakukan tersebut is just fine.

Hmm... sementara ini saya memang menemani dan menenangkan Daffa dg cara seperti yang dia mau. Sejujurnya, saya tidak tahu alternatif lain yang bisa saya lakukan yang bisa berefek positif. Dalam bayangan saya, suatu ketika nanti saya harus mengajari dia untuk lebih independen dan tidak terlalu mengkhawatirkan kesalahan2 kecil such as those mistakes. Tapi dg cara bagaimana, rasanya saya harus bertemu seorang yang ahli dulu untuk bisa memutuskannya.

Tadi siang saya juga ketemu Miss Manda, guru kelas Daffa. Ternyata selama ini memang Daffa selalu minta ditungguin dalam mengerjakan paperwork di kelas. Persis yang selama ini dia minta saya lakukan untuknya di rumah. Dan yang Miss Manda lakukan adalah memberi contoh dan meninggalkannya. Bisa dimaklumi, karena masih banyak anak2 lain yang harus di-handle. Kata beliau sih, it works pretty well. Daffa tidak terlalu rewel selalu bisa mengerti perintah2 yang harus dilakukan.

Well, memang selalu ada hikmah dari segala sesuatu. Dan merugilah manusia yang tidak bisa menarik hikmah dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Dan semoga saya selalu dikayakan akan hikmah dari setiap permasalahan hidup saya. Aamiinn...

Monday, August 27, 2007

Frame berpikir anak

Story ttg weekly report Daffa masih berkelanjutan, nih.

Saya yang rencananya mo jalan ke Malioboro sambil nunggu Daffa bubaran kelas, jadi mengurungkan niat. Sebagai gantinya, saya ke Gramedia mencari buku mewarnai dan pre-writing. Bukan dg niat apa-apa, cuman berpikir untuk mengasah ketrampilan motorik halus Daffa. Sudah itu, saya coba ke Psikologi section, siapa tahu ada buku yang membahas ttg masalah saya ini. Eehh, ternyata Psikologi section itu isinya kebanyakan adalah buku ttg remaja, buku ttg bayi, buku ttg pasangan kita... Yo wis, gak dapet apa-apa deh di section ini.

Sambil berangkat lagi ke Sunsmile untuk menjemput Daffa, saya mencoba mereview ttg pola perlakuan saya terhadap anak-anak, terutama thd Daffa. Hmm.... ternyata saya mendapatkan banyak hal. Banyak hal yang kadang tidak terlalu saya sadari bahwa mungkin hal tersebut berdampak tidak terlalu bagus pada anak.

Sesampai di sekolah, saya minta bertemu dg Principal Daffa yang kebetulan adalah psikolog. Kita membahas agak panjang ttg kekhawatiran saya terhadap Daffa. Ini summary dari diskusi kami tadi siang:

1. Posisi Daffa sebagai anak sulung di rumah sering membuat saya secara tidak sadar menuntut dia untuk bertingkah laku perfectionis. Selalu saya tekankan kalau tingkah lakunya adalah teladan untuk his baby brother.

Miss Deti menyarankan agar saya mulai belajar memandang bahwa Daffa adalah Daffa. Regardless dia anak sulung, berilah ruang bagi dia untuk berbuat salah. Beliau menganalogikan permasalahan dg mewarnai gambar. Ketika mewarnai gambar, biarkan dia mencoret warna sampai di luar garis, selama itu tidak menghilangkan tema.

Ada baiknya sesekali dia diingatkan, bahwa dia punya adik yang selalu mencontoh apapun yang dia lakukan. Tetapi jangan terlalu menuntut Daffa untuk selalu menjadi teladan.

2. Terkadang saya memarahi Daffa dg agak berlebihan. Saya tahu kalo itu membuat dia takut dan khawatir tidak dicintai. Dan saya sering menggunakan itu untuk mengatur dia. Dengan ancaman saya akan marah, saya mencoba membuat Daffa menurut pada saya.

Well, it worked as expected. Saya jadi mudah mengatur Daffa ketika 'bandel'. Tapi ternyata, tanpa saya sadari, saya juga menumbuhkan hal lain pada Daffa. Ketika dia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dg peraturan saya, dia khawatir pada kemarahan saya. Bukan pada konsekuensi dari pelanggaran aturan tersebut. Of course, kemarahan saya adalah salah satu konsekuensi dari pelanggaran aturan. Tapi kan bukan itu tujuan saya membuat peraturan di rumah. Bukan as simple as: if you follow my rule then you'll get reward, and if you break my rule you'll get punishment.

Ternyata dg berdiskusi dg 'ahli anak', memberi saya banyak pengetahuan.

Frame berpikir seorang anak adalah black and white. No grey inbetween. Tugas kitalah sebagai orang dewasa disekitarnya yang memberi tambahan khasanah pada anak2, membantu anak untuk memahami bahwa ada abu-abu diantara hitam dan putih tersebut. Bahwa ada toleransi dalam segala sesuatu.

Berbohong itu tidak baik. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ada situasi yang membuat ktia tidak bisa lepas dari berbohong. Peraturan harus dipatuhi, tetapi ada kondisi-kondisi istimewa yang membuat peraturan itu tidak bisa diterapkan at anytime strickly. Dan tugas kitalah menuntun anak untuk mengerti bahwa ada aturan untuk setiap ketidakteraturan.

Hmmm.... lumayan agak plong hati saya setelah itu. Ketika saya keluar dari ruangan Principal, saya mencari Daffa. Rasanya saya ingin meminta maaf atas ketidaktahuan saya terhadap dunianya. Saya peluk dia erat-erat, sampai dia bingung. I just could say: 'I love you, Abang. I do love you.'

Saya pulang dari Sunsmile dg hati ringan. Pihak sekolah juga berjanji akan lebih memperhatikan Daffa, mencoba membuat dia menjadi 'biasa'. Menghilangkan ketakutannya ketika berbuat salah. Being incorrect is fine, since he is a learner.

Am I a good mother to my children?

Saya lagi sediiihhhh banget.

Tadi pagi saya menerima weekly report daffa untuk yang kesekian kali. Something written on the report makes me feel so awful. Begini nih bunyi beberapa bagian dari report tsb:

Pre-writing / Writing --> It seemed that he wanted to trace the lines perfectly so he did it very slowly

Creativity & Aestethics --> As in pre-writing, it looked like he wanted to colour the picture perfectly, so he did it very slow and sometimes it made him tired before he finished couring.

Trus di bagian General Comment --> Daffa is too careful at colouring, pre-writing, even at doing the creative activities. He is afraid to do mistakes.

Oh my... What have I done to him? Saya jadi merasa, there must be something wrong I've done in treating him. Betapa menakutkannya bagi saya ketika membaca bagian terakhir: He is afraid to do mistakes.

Beberapa bulan terakhir ini, saya perhatikan, Daffa memang kadang punya kekhawatiran berlebihan ttg banyak hal. Saya tadinya berpikir itu sesuatu yang normal. Perlahan saya mencoba membelokkan kekhawatirannya pada sesuatu yang lain. Pada hal-hal penting yang menurut saya lebih layak untuk dikhawatirkan.

Pernah suatu ketika, kami pergi berdua ke toko depan kompleks untuk membeli telur. Kebetulan ketika itu ada seorang ibu2 kompleks yang juga berbelanja di toko itu, sehingga saya tidak begitu memperhatikan Daffa. Ketika sdg asyik ngobrol, tiba2 gubraakkk..!!! ternyata sepeda motor yang saya parkir di depan toko roboh karena dinaiki Daffa.

Daffa tidak langsung menangis, tapi dia bertanya kepada saya dengan nada bersalah:

'Ma, sepedanya rusak nggak, Ma? Ma, sepeda kita bisa dipakai lagi nggak, Ma?'

Setelah saya berdirikan sepeda motor lagi, saya peluk dia. Saya tanya apakah ada yang terluka, apakah dia baik-baik saja. Baru setelah itu dia menangis sambil badannya agak gemetar dan mengeluh lututnya terluka.

Saya bilang: 'Mama tidak khawatir sepeda motor kita rusak. Mama lebih khawatir kalau abang terluka.' Tentu saja sesudah itu saya tegur dia untuk tidak melakukan hal tersebut next time.

It was just an example. Masih banyak hal2 yang lain. Seakan-akan dia takut saya marah, atau papanya marah karena dia melakukan suatu kesalahan. Kadang2, kalau dia tahu dia melakukan suatu kesalahan, dia akan bilang sambil terlihat menyesal: "Kenapa abang melakukannya ya, Ma?"

Duh, saya sebagai emaknya merasa saya mengukir sesuatu yang salah pada sebuah jiwa yang masih polos. Saya takut, anak saya jadi seseorang yang ragu dalam melakukan banyak hal karena takut berbuat salah. Saya takut anak saya menjadi seorang paranoid. Saya takut anak saya menjadi tidak teguh dalam pendirian karena khawatir membuat orang lain marah.

Mungkin bagi banyak orang, ketakutan dan kekhawatiran saya terlalu berlebihan. Tapi saya tidak bisa melepaskan frame saya sebagai seorang ibu. I'm the person who have biggest interference to my children. Apapun yang saya lakukan dalam memperlakukan anak2 akan berefek permanent dalam membentuk mereka menjadi sebuah pribadi.

Sunday, August 19, 2007

Hidup tanpa pembantu? Hmmm....

Tadi siang di Sunsmile, waktu nungguin abang keluar dari kelas, saya ngobrol2 sama mommy-nya Ashley. Cukup ngalor ngidul sih, tapi lumayan banyak memberi saya beberapa sudut pandang yang berbeda dalam banyak hal.

Blio bercerita ttg kehidupan mereka sekeluarga ketika masih tinggal di Amerika. Dengan 2 balita dirumah, tanpa pembantu, semua berhasil dilalui baik-baik saja. Rumah tetep rapi, makanan yang tersaji dimeja adalah hasil masakan rumah, jalan2 sekeluarga juga tetep bisa dijadwalkan.

Saya jadi malu pada diri sendiri. Salah satu alasan saya enggan dan ragu mengikuti my beloved hubby ke negara orang adalah kekhawatiran saya tidak bisa hidup tanpa pembantu. Kuwatir kalo nanti rumah berantakan ndak ada yang bantuin merapikan. Kuwatir nanti kalo Nino nangis sementara saya masih repot sama abangnya. Kuwatir kalo saya ndak punya waktu lagi untuk chatting. Kuwatir kalo saya berubah jadi orang yang uring2an terus karena capek...

Tapi semua itu mungkin memang harus melalui proses pembiasaan ya. Saya terbiasa menjadi wanita bekerja yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semua pekerjaan rumah tangga dihandle oleh pembantu. Ketika saya sudah jadi full time mother dan tinggal di rumah, saya selalu masih punya pembantu.

Hmmm..... coba deh, saya belajar mengerjakan sesuatunya sendiri. Terutama yang menyangkut masalah anak2. Toh, seperti arti kata itu sendiri, pembantu adalah berfungsi untuk membantu. Bukan untuk menggantikan dalam melaksanakan tugas utama.

Sebentar lagi mau lebaran. Mungkin itu momen yang tepat untuk mulai belajar melakukan segala sesuatunya sendiri....

Happy Anniversary, Republik Indonésia !

Semalam di kampung kami, atau lebih tepatnya di kompleks perumahan yang kami tinggali, diadakan acara peringatan kemerdekaan Indonesia.Dan seperti lazimnya peringatan yang diadakan di kampung2 lain, panggung hiburan lengkap dg atraksi2 pertunjukan dari warga untuk warga tidak ketinggalan menyemarakkan hari ulang tahun RI yang ke 62. Dan seperti lazimnya banyak kegiatan yang diadakan di Taman Cemara, semuanya terasa berlebih-lebihan dan tidak terasa pas untuk saya. Lha bayangkan saja, malam peringatan 17-an yang cuman selevel satu RW, disponsori oleh Indosat dan Astro. Untuk makan malam bersama para warga, sengaja dibooking salah satu restoran etnik di Jogja yang menyediakan menu sepinggan, dg harga per porsi yang tidak bisa dibilang murah...!!

Entah kenapa saya merasa tidak 'well-blended' dengan lingkungan disini. Buanyak deh hal-hal kecil yang tidak sreg di hati. Saya masih ingat, pertama kali ikut pengajian bulanan di kompleks. Melalui jaringan komunikasi para pembantu (kekekek...) saya janjian mo nyamperin Bu Amir, tetangga berjarak 3 rumah. Waktu itu saya berdandan biasa-biasa saja, lha wong mau ke pengajian itu kan yang penting rapi, bersih dan tertutup aurat kita. Sesampai di rumah Bu Amir, saya sempat terperangah. Halah... si ibu yang emang dasarnya modis dan kinclong itu bener2 berbusana selayaknya orang mo pergi kondangan. Lengkap dengan dengan tas centil dan sepatu hak tinggi yang berbunyi cethok...! cethok..!

Saya langsung melirik kaki saya yang cuman pake sandal buat jalan2 keliling kompleks. Tas tangan? Halah... wong dasarnya saya ini ndak suka pake tas centil, jadi cuman bawa dompet yang tak selipin di kantong pantat celana... Jadi, bisa dibayangkan lah, betapa kontrasnya penampilan kami waktu itu... Tapi saya pe-de aja, berangkat ke pengajian dg dandanan a la saya itu. Saya pikir, ini pasti karena si ibu tetangga saya itu emang tipe modis, jadi pasti ndak nyaman lah kalo keluar rumah ndak pake berdandan kinclong gitu.

Sesampainya saya di tempat mengaji, hwarakadah.....!! terpesonalah saya melihat warna warni dan kemilau ibu-ibu peserta pengajian. Ternyata....., Bu Amir di sebelah saya itu adalah sample yang mewakili penampilan ibu-ibu Taman Cemara in general. Dan tiba-tiba saja, saya merasa, Bu Amir-Bu Amir tersebut memandang saya dg sebelah mata, seakan saya bukan sepadan mereka.... Well, semoga itu cuman perasaan saya. kan emang yang namanya perempuan itu suka berperasaan yang aneh-aneh...

Waktu saya cerita sama hubby, dia cuman senyum aja. Dia bilang: Welcome to the neighbourhood...!!

Kembali ke masalah panggung hiburan tadi, saya sih seneng aja dg keberadaan malam hiburan tersebut. Soalnya saya bisa ajak anak2 dan si embak berrekreasi yang murah meriah sambil makan enak. Cuman, saya kok merasa kehilangan rasa 'guyub' bersama para warga yang lain... Rasa yang selalu ada dalam dada saya ketika kami masih tinggal di kampung yang lama.

Tapi mungkin ini yang dibilang, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Seiring dengan punahnya ladang dan lubuk di lingkungan saya yang baru ini, punah juga belalang dan ikan sebagai habitat-habitat pengikutnya. Tinggal kami para manusia yang harus mewarnai hidup kami sendiri....

Thursday, August 9, 2007

He is my boy....

Saya masih online nih. Nungguin janjian chatting sama hubby. Kayaknya waktu disana lagi maghrib deh, jadinya belum nongkrongin laptopnya...

Tadi siang disekolah Abang, saya dicegat sama Principle-nya. Blio kayaknya lagi nggak sibuk, trus pengen ngajakin ngobrol2 seputar anak-anak didiknya. Menyenangkan sekali ternyata mendengar beliau bercerita ttg anak-anak. She really loves her job.

Salah satu komentarnya yang membuat saya sangat bangga adalah ttg Daffa. Anak saya yang tidak pernah bisa diam ini, sudah mulai sedikit lebih 'dewasa'. He is kind of being a leader for his classmates. Mungkin bisa dipahami karena umur Daffa yang paling tua dibandingkan anak2 yang lain.

Sebenarnya dulu saya mendaftarkan Daffa untuk kelas Prep-1. Tapi berhubung ini sekolah baru, peserta Prep-1 ternyata cuman Daffa seorang. Jadinya dia dimasukkan ke Nursery class. Dg umur siswa lain berkisar antara 3 - 3.5 thn, of course Daffa yang sdh 4 thn jadi yang tertua above all. Kalo yang lain masih pada bandel2 mengikuti kata hati mereka (kebayang nggak sih, nyuruh anak umur 3 thn utk duduk diam mendengarkan cerita bu guru?), Daffa sudah mulai memperhatikan dan imitating whatever the teachers says. bahkan juga menegur teman sebelahnya yang suka ngajakin ngobrol ditengah pelajaran. Hehehe.... I'm so damn proud of him. He is my boy....

O iya, tadi pagi saya sempat berdebat sedikit dg Daffa. Begini kronologis perkaranya. Dia bercerita kalo ada teman baru di kelas.

"Namanya Muffin, Ma"

"Hah, Muffin? Apa Abang nggak salah dengar tuh? Muffin kan nama kue. Masak teman Abang namanya kayak nama kue bgitu?"

"Iya, Ma. Baru kemaren masuk ke kelas. Kata Miss Manda, namanya Muffin. Nanti deh, Abang tunjukkan sama Mama yang namanya Muffin..."

Ketika siangnya ketemu sama Principle dan ngobrol2, terangkat pula topik ttg anak baru teman sekelas Daffa ini. Dan ternyata namanya adalah: Marvin...!! Sambil ketawa saya cerita ttg perdebatan kami sebelum berangkat tadi pagi. Miss Deti ketawa, dan berkomentar sesuatu yang bener2 menyentuh hati saya.

"So, Daffa tells you everything happening in school ya?"

Komentar yang almost nothing itu bener2 terngiang2 dalam kepala dan hati saya. Sumpah, saya merasa bahagia sekali ada orang lain yang menyimpulkan demikian.

Well, mungkin anak2 lain juga melakukan hal yang sama to their moms. But this is Daffa, and he is my boy...

Hello again....

Hello again... It has been ages not publishing anything through this blog..

Itu salah satu efek dari suami pulang kampung. Efek yang lain adalah berat badan yang naik drastically. Bagaimana tidak naik, lha wong yang namanya ditungguin suami, kan seneng tuh nemenin makan, trus kadang kalo jalan2 pasti ada acara jajan diluar. Sudah gitu, secara teratur kita bikin acara baru, bobok siang setelah makan... Jadi masuk akal bukan kalau berat badan bergerak naik. Anyway...

Tadi malam di Jogja ada gempa lagi. Tidak terlalu besar, tapi cukup berasa. Tetangga langsung berlarian keluar rumah. Padahal itu sudah 5 menit lewat tengah malam. Mana Jogja sedang dingin banget, dan berangin lagi.... Trauma itu sepertinya memang susah hilang ya... Besok paginya, informal news dirilis di... warung sayur dekat rumah... Reporter utama adalah si embak kasir yang juga bertugas sebagai timbangan officer. Audience-nya, of course, adalah ibu-ibu rumah tangga dan para PRT. Tapi amazingly, beritanya cukup akurat dan cepat. Entah darimana sumber berita, mengingat para 'insan pers' adalah ibu2 yang pasti tdk sempat nongkrongin TV pagi. Dan harap diingat, Live News Release tsb terjadi pukul 6 pagi!! Kedaulatan Rakyat pun bahkan belum sempat dibagikan oleh para loper..... Memang hebat kekuatan para ibu-ibu rumah tangga dalam hal mencari berita ya.... Hidup ibu rumah tangga !!