Tuesday, June 24, 2008

Pasar Tradisional

Barusan saya pulang dari pasar Stan yang berjarak kurleb 2 km dari rumah. Tidak biasa-biasanya saya ke pasar tradisional. Kebiasaan ini sudah saya tinggalkan semenjak saya lebih memilih berbelanja ke mall, dengan alasan lebih rekreatif dan tidak becek, dan of course, lebih banyak yang bisa dipandang. Atau kalau tidak sempat ke mall, paling-paling belanja di warung dekat perempatan di luar kompleks perumahan tempat kami tinggal. Seingat saya, terakhir kali saya berbelanja pasar ini sekitar akhir tahun 2007: 6 bln yll !!

Berangkat dari rumah dengan rencana hanya membeli ayam kampung barang seekor dua. Semenjak kemarin sudah ngiler membayangkan soto ayam kampung dan atau bacem ayam. Rencananya, begitu sudah dapat ayam kampung, langsung pulang buat mandiin anak-anak. Trus masih sempat pergi sebentar beli pempek di Jl Palagan dan pulang pas maghrib.

Sesampai di pasar, saya agak terkejut melihat setting baru penataan kios pedagang. Terlokalisir dengan baik dan rapi. Sudah begitu, disekeliling lokasi berjual para pedagang tersebut banyak pohon-pohon besar yang membuat pasar jadi teduh dan terlindung dari silau matahari sore. Cuman saya jadi agak sedikit bingung mencari penjual ayam kampung. FYI saja, pasar Stan ini pasar kecil. Kalau sore hari, cuma satu orang yang berjualan ayam kampung. Setelah mengelilingi pasar sekali sambil mengobservasi, saya akhirnya berhasil menemukan pedagang yang saya cari.

Dan, karena suasana pasar yang kondusif, akhirnya saya tidak berhenti sampai di situ. Setelah menenteng 2 ekor ayam (ayamnya dimasukkan tas plastik hitam ya... jangan membayangkan saya menenteng ayam utuh tanpa dibungkus...), saya lanjut menjelajah sudut2 pasar yang lain. Sesi belanja sore itu berakhir dengan keterbatasan 2 tangan saya menenteng tas belanjaan yang sudah berasa menggigit telapak tangan, saking beratnya.

Dalam perjalanan menuju ke tempat parkir mobil, saya sempat berpikir. Dulu, waktu masih tinggal bersama kedua orang tua (almarhum), saya suka sebel kalo disuruh mengantar ibu saya belanja. Soalnya beliau kalau belanja gak pake planning. Asal terlihat ada yang menarik dipasar, pasti dibeli. Nah, berhubung saya yang jadi porter di belakang, tentu saja saya protes keras.

Dan gak nyangka, ternyata saya mewarisi kebiasaan beliau. Jangan-jangan, ini pengaruh umur ya. Atau ini kebiasaan emak-emak yang universal?

Sunday, June 22, 2008

Sepulang dari rantau....(2)

Sore ini saya menyempatkan diri mengunjungi dokter spesialis penyakit dalam sub specialis paru-paru. Saya membawa foto rontgen hasil berpose waktu medical check di klinik di Jakarta beberapa minggu yang lalu.

Begini kata pak dokter yang saya kunjungi:

"Flek yang ditunjukkan di foto ini bukan penyakit, Bu. Ibaratnya cacar air yang muncul di bagian muka, ada sedikit bopeng dan tidak bisa hilang. Nah, beginilah kenampakan pada foto rontgennya..."

"Jadi, Pak Dokter... Bisa dilakukan tindakan apapun untuk membuatnya bersih lagi nggak ya?"

"Sejauh pengalaman saya, tidak bisa"

Sepulang saya dari rumah sakit, saya benar2 terbengong2 sepanjang jalan (untung nyetirnya tidak kacau karena melamun). Antara jengkel, marah, sedih, setitik senang, dan campur aduk jadi satu dalam hati saya.

Senang, of course, karena ternyata sebetulnya saya sehat wal afiat. Sementara perasaan marah, jengkel dan sedih, tetap tidak bisa hilang. Rasanya ingin menimpakan kesalahan pada dokter dan klinik di Jakarta tempat kami med-check kemarin. Hanya karena inkompetensi dokter dari klinik tempat kami med-check, keluarga kami jadi tidak bisa berkumpul.

Akhirnya yang bisa saya lakukan, saya minta surat pengantar dari dokter yang memeriksa saya tadi untuk periksa phlegm di laboratorium. Setidaknya, saya akan punya bukti tertulis hitam diatas putih ttg kondisi saya. Masalahnya, dengan kondisi sehat walafiat begini, bagaimana saya menghasilkan phlegm untuk diperiksa di lab? Hhhh.... bingung !!

Pelajaran yang saya ambil dari kejadian diatas : menggantungkan nasib pada interpretasi seseorang (walaupun yang sudah dinyatakan ahli dengan diterbitkannya sertifikat dokter) ternyata tidak terlalu bijaksana. Jadi berandai-andai: seandainya waktu itu kami sigap mencari second opinion...

Monday, June 16, 2008

Sepulang dari rantau....

Yak, setelah melalui cerita dan peristiwa yang tidak singkat, akhirnya disinilah saya sekarang. Again, Taman Cemara C-20...

Singkat cerita, saya dinyatakan tidak laik untuk menjadi 'penduduk sementara' Kuwait oleh tim medis yang memeriksa kami di Jakarta kemarin. Hasil foto rontgen memperlihatkan paru-paru saya tidak terlalu bersih, untuk dicap sebagai 'sehat' dan lolos portal.

Sedih? Jelas iya lah. Apalagi setelah kemarin sempat merasakan tinggal bersama sekeluarga disana. Sudah mereka-reka kehidupan seperti apa yang akan kami jalani. Merancang sekolah untuk anak-anak. Bertemu teman yang amat sangat menyenangkan. Ditambah lagi, anak-anak sudah hepi dengan kehidupan kami disana.

Sempat terpikir untuk 'membeli' kelulusan tes kesehatan tersebut. Well, semua orang tahu, apapun bisa dibeli di Indonesia ini. Ditambah juga, pengalaman beberapa teman hubby yang seharusnya tidak lolos tes kesehatan tetapi tetap bisa mengambil Permanent Resident Visa dengan cara bribing.

Tapi, setelah ditimbang-timbang dan diukur-ukur, akhirnya kami memutuskan untuk tidak melakukannya. Salah satu pertimbangan kami, kalau memang saya dinyatakan sakit, ya berarti memang sakit. Yang terbaik untuk dilakukan adalah berobat (dan bertobat, he he he...). Kalau saya melakukannya di Indonesia, segala sesuatunya akan lebih mudah (dan murah) bagi kami sekeluarga. Dengan kondisi tidak fit, kembali ke Kuwait dan menjadi the only house keeper adalah sangat riskan. Bagaimana kalau sampai disana kemudian saya jatuh sakit?

Jadi, disinilah saya lagi....

Kembali mengukur jalanan Jogja setiap hari. Nongkrong di Sunsmile (lagi) untuk mengantar Abang dan Nino sekolah. Maem mi ayam di Pak Wie (lagi). Dan jadi nyonyah besar (yang berasisten) lagi....

He he he.....