Monday, August 27, 2007

Frame berpikir anak

Story ttg weekly report Daffa masih berkelanjutan, nih.

Saya yang rencananya mo jalan ke Malioboro sambil nunggu Daffa bubaran kelas, jadi mengurungkan niat. Sebagai gantinya, saya ke Gramedia mencari buku mewarnai dan pre-writing. Bukan dg niat apa-apa, cuman berpikir untuk mengasah ketrampilan motorik halus Daffa. Sudah itu, saya coba ke Psikologi section, siapa tahu ada buku yang membahas ttg masalah saya ini. Eehh, ternyata Psikologi section itu isinya kebanyakan adalah buku ttg remaja, buku ttg bayi, buku ttg pasangan kita... Yo wis, gak dapet apa-apa deh di section ini.

Sambil berangkat lagi ke Sunsmile untuk menjemput Daffa, saya mencoba mereview ttg pola perlakuan saya terhadap anak-anak, terutama thd Daffa. Hmm.... ternyata saya mendapatkan banyak hal. Banyak hal yang kadang tidak terlalu saya sadari bahwa mungkin hal tersebut berdampak tidak terlalu bagus pada anak.

Sesampai di sekolah, saya minta bertemu dg Principal Daffa yang kebetulan adalah psikolog. Kita membahas agak panjang ttg kekhawatiran saya terhadap Daffa. Ini summary dari diskusi kami tadi siang:

1. Posisi Daffa sebagai anak sulung di rumah sering membuat saya secara tidak sadar menuntut dia untuk bertingkah laku perfectionis. Selalu saya tekankan kalau tingkah lakunya adalah teladan untuk his baby brother.

Miss Deti menyarankan agar saya mulai belajar memandang bahwa Daffa adalah Daffa. Regardless dia anak sulung, berilah ruang bagi dia untuk berbuat salah. Beliau menganalogikan permasalahan dg mewarnai gambar. Ketika mewarnai gambar, biarkan dia mencoret warna sampai di luar garis, selama itu tidak menghilangkan tema.

Ada baiknya sesekali dia diingatkan, bahwa dia punya adik yang selalu mencontoh apapun yang dia lakukan. Tetapi jangan terlalu menuntut Daffa untuk selalu menjadi teladan.

2. Terkadang saya memarahi Daffa dg agak berlebihan. Saya tahu kalo itu membuat dia takut dan khawatir tidak dicintai. Dan saya sering menggunakan itu untuk mengatur dia. Dengan ancaman saya akan marah, saya mencoba membuat Daffa menurut pada saya.

Well, it worked as expected. Saya jadi mudah mengatur Daffa ketika 'bandel'. Tapi ternyata, tanpa saya sadari, saya juga menumbuhkan hal lain pada Daffa. Ketika dia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dg peraturan saya, dia khawatir pada kemarahan saya. Bukan pada konsekuensi dari pelanggaran aturan tersebut. Of course, kemarahan saya adalah salah satu konsekuensi dari pelanggaran aturan. Tapi kan bukan itu tujuan saya membuat peraturan di rumah. Bukan as simple as: if you follow my rule then you'll get reward, and if you break my rule you'll get punishment.

Ternyata dg berdiskusi dg 'ahli anak', memberi saya banyak pengetahuan.

Frame berpikir seorang anak adalah black and white. No grey inbetween. Tugas kitalah sebagai orang dewasa disekitarnya yang memberi tambahan khasanah pada anak2, membantu anak untuk memahami bahwa ada abu-abu diantara hitam dan putih tersebut. Bahwa ada toleransi dalam segala sesuatu.

Berbohong itu tidak baik. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ada situasi yang membuat ktia tidak bisa lepas dari berbohong. Peraturan harus dipatuhi, tetapi ada kondisi-kondisi istimewa yang membuat peraturan itu tidak bisa diterapkan at anytime strickly. Dan tugas kitalah menuntun anak untuk mengerti bahwa ada aturan untuk setiap ketidakteraturan.

Hmmm.... lumayan agak plong hati saya setelah itu. Ketika saya keluar dari ruangan Principal, saya mencari Daffa. Rasanya saya ingin meminta maaf atas ketidaktahuan saya terhadap dunianya. Saya peluk dia erat-erat, sampai dia bingung. I just could say: 'I love you, Abang. I do love you.'

Saya pulang dari Sunsmile dg hati ringan. Pihak sekolah juga berjanji akan lebih memperhatikan Daffa, mencoba membuat dia menjadi 'biasa'. Menghilangkan ketakutannya ketika berbuat salah. Being incorrect is fine, since he is a learner.

No comments: