Saturday, October 25, 2014

Kemandirian anak

Kebanyakan ortu jaman sekarang kepengin sekali anak-anak mereka mandiri secepat mungkin.
Tak terkecuali saya.

Umur 4 tahun, si Abang sudah saya ajari untuk bisa makan sendiri tanpa perlu disuapin.
Pernah waktu itu saya sekeluarga berkunjung dan menginap di rumah paman. Beliau terheran-heran dan menegur saya karena membiarkan Abang yg waktu itu baru 4,5 tahun makan tanpa disuapin.

Lain Abang lain pula Nino.
Si bontot ini malah sejak bayi sudah saya biasakan tidur di tempat tidurnya sendiri di kamar anak-anak (sekamar dg abangnya), dengan berbekal baby monitor.
Dan tentu saja ini menuai protes banyak orang yang (waktu itu) saya kategorikan sebagai old fashioned people. Tak kurang-kurang, mertua saya mengatakan bahwa saya ortu yg tega pada anak.
Masa sih, anak umur 2 thn harus tidur tanpa digendong.

Waktu itu saya adalah wanita bekerja.
Of course, dengan waktu yang minim dipunyai untuk bersama dg anak-anak, saya menginginkan quality time bersama mereka.

Definisi quality time kala itu, bagi saya kira-kira adalah begini: saya menghabiskan sisa waktu saya hari itu bersama anak-anak untuk mempelajari sesuatu, bermain lego, jalan-jalan ke suatu tempat, membaca buku bersama-sama, dlsb.
Dan tentu saja, dalam kriteria saya,  segala kegiatan yg menyenangkan tersebut minus hal-hal tidak penting sebangsa: meyuapi makan, memandikan, memakaikan baju, ngelonin tidur....

Ide tentang kemandirian anak yang berkembang dalam pikiran saya, semakin dipupuk dengan banyaknya artikel dan mail chains dalam milis-milis parenting yang saya ikuti.
Anak harus sedini mungkin dilatih untuk mandiri!

Abang dan Nino memang menjadi anak-anak yang mandiri.
Kemandirian mereka amat sangat mempermudah hidup saya sebagai wanita bekerja, dimana saya harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar meeting pagi dengan client dan pulang kadang selepas maghrib baru sampai di rumah (kalau saya cukup beruntung tidak ada masalah di tempat kerja).

Kala itu.



Dan sekarang saya adalah ibu di rumah. Kegiatan utama saya seputar anak-anak, dapur, suami, balik lagi ke anak-anak.

Terkadang saya sering menyesali keputusan untuk memandirikan anak-anak terlalu dini. Sering saya kangen menyuapi mereka. Saya kangen pada 'rasa dibutuhkan' oleh anak-anak.

Abang bahkan sering meminta saya untuk tidak usah mengantar berangkat lomba, bahkan apabila lomba itu diadakan di luar kota. Dia ingin pergi sendiri, tanpa mamanya, hanya bersama teman-teman dan gurunya....

Rasanya mereka tumbuh terlalu cepat ya....

Seandainya dulu saya tahu, bahwa mereka akan tumbuh secepat ini, saya akan lebih sering ngelonin mereka, menyuapi makan, memandikan, memilihkan baju untuk mereka pakai....


Friday, October 24, 2014

Kembali ke.... laptop!

Lap lap meja belajar lageee...

Buka buka buku Om Oz Yilmaz lageee...

Siap siap bakal sering begadang lageee....

Besok mulai naik bis dan gendong ransel laptop lagee....



Arisan, libur dulu....

Rapat Komite Sekolah, direm dulu...

Shopping shopping, bikin list aja dulu....


Sarapan bareng mommy solehah?
Nah, kalo yg satu ini, tetep harus jalan....
demi menjaga supaya pikiran tetep sehat
*eh, atau sebaliknya ya? =D







.

Tuesday, October 21, 2014

Di ujung pagi bersama Pak Pulisi....

first posted on Apr 14, '10 5:06 AM

"Maaf, ada apa ya Pak?" demikian pertanyaan pertama yang dilontarkan suami saya kepada Bapak Aparat kepolisian ketika mobil kami dipersilakan untuk berhenti di bahu jalan, sedikit di luar kota Jombang.

"Saudara tahu tidak, kalau garis marka yang lurus dan tidak terputus yang membatasi jalanan dg bahu jalan itu berarti Saudara tidak boleh berpindah jalur" Pak Aparat menjawab dengan nada tegas, lugas dan jelas...

Suami saya manggut-manggut sembari menahan nyengir keki. Beberapa ratus meter dari tempat mangkal Bapak2 Aparat ini, kami memang mendahului barisan beberapa trailer yang berjalan sekitar 40 km/jam dari sisi sebelah kiri. Salah? Lha ya sudah jelas iya....
Walaupun dalam hati kami agak sedikit mencari pembenaran dari tindakan kami: 'Masa sih, harus merayap 40 km/jam sampai beberapa kilometer berikutnya untuk bisa mendahului... Toh di sisi sebelah kiri kosong melompong gitu loh.....'

Dan karena menyadari memang kami melakukan kesalahan, suami saya terima2 saja diwejang oleh Bapak2 Aparat tadi.
Dan seperti sudah diduga, diujung wejangan singkat tsb, seorang Bapak Aparat yang mungkin bertugas sebagai sekertaris rombongan mengeluarkan segepok slip tanda tilang yang berwarna putih dengan tembusan kuning dan merah jambu.

"Jadi, Saudara mau menitip berapa untuk biaya sidang pelanggaran ini?" seorang Bapak Aparat berkumis tebal langsung bertanya to the point, tanpa tedeng aling-aling, tanpa merasa sungkan...
Kebetulan, terlihat beberapa supir kendaraan (4-5 orang) yang ikut terjaring hampir bersamaan kami mengeluarkan dompet dan masing2 'menyetor' Rp. 50.000 kepada Bapak Aparat bendahara rombongan....

Ke(tidak)betulan, semenjak berangkat dari rumah kami tidak menemukan lokasi ATM dipinggir jalan yg kami lalui. Sementara uang di dompet, kalau dikumpul2kan (beserta beberapa lembar ribuan untuk cadangan ongkos parkir) paling banter hanya Rp. 70 000.
Nah, kalau kami sedekahkan 50rb utk bapak-bapak aparat berkumis itu, bagaimana pula kami harus memberi makan 4 perut dg uang 20rb?

"Kebetulan saya tidak membawa banyak uang, Pak. Sementara saya juga tidak bisa tinggal lama di kota ini untuk ikut sidang. Saya minta slip biru saja supaya bisa membayar denda di BRI.." jawab suami saya.

Kok ya pas banget, beberapa hari ini kami sering mendiskusikan ttg slip biru yang memudahkan para 'tertilang' dan mengurangi kesempatan para polisi nakal untuk memancing di air keruh....

Eh, lha kok nggak disangka... Bapak Aparat yang menyuruh suami saya minggir tadi malah marah... Seorang aparat yang lain ikutan pula nimbrung memojokkan suami saya, menegaskan bahwa dia saksi dari pelanggaran ini. Kalo suami saya gak terima ditilang, boleh melaporkan nama dia ke kantor, sambil menuding2 name-tag di dadanya...

"Nih, catat nama saya ! Laporkan ke kantor polisi sana kalau Saudara gak terima ! Saya gak takut !"

Loh...loh....

Piye toh, Pak Pulisi....
Lha wong suami saya sudah jelas mengaku bersalah karena melanggar marka... sudah mau menerima ditilang.... cuman memang minta slip biru supaya gampang bagi kami....

Lah, dasar suami saya juga....
Gak terima dia dibentak2 sambil ditarik2 lengannya kesana kemari kayak bgitu... Ikut ngotot juga dia.....

Saya di mobil bersama anak-anak cuman bisa kuwatir sambil harap2 cemas... "Mbok ya sudah toh, Pakne..." kata saya dalam hati saya sambil tetap mengawasi diskusi yang kelihatannya sudah dikuasai emosi....

Untung ketua rombongan Pak Bos Aparat Kepulisian yang selama itu hanya duduk manis di tempat teduhan turun tangan dan melerai...

"Mas, kalau di sini kami tidak menyediakan slip biru.... Pembayaran disini masih belum online kayak di kota Mas sana.... Ini kan kota kecil, Mas... Sudah, Mas boleh pergi lagi. Ini SIM dan STNKnya..."

Loh, kok nyuruh perginya gampang banget gitu.... Gak sinkron sama pertunjukan marah2 sebelumnya?

Ohalah, setelah diamati, kami baru maklum.... Kalau mereka berhenti terlalu lama pada satu kasus yang gak jelas bisa menghasilkan duit atau tidak, momen yang ada (para mobil yang melanggar marka, red.) bakal banyak yang terlewat.... yang berarti terlewat juga 50rb x __ mobil, yang (bisa) berarti gak bisa ajak anak istri shopping akhir minggu besok....

Dan tetes pertama hujan yang menemani perjalanan panjang kami hari itupun turun.
Bergegas kami meninggalkan Bapak-Bapak Aparat Kepolisian penuh dedikasi yang tetap bertugas ditengah rintik hujan demi ketertiban dan kenyamanan para pemakai jalan....

Sekelumit wajah polisi bangsaku.....

e-card, e-payment, e-alaaahhh.... kebablasan!

Jaman saya pernah tinggal di negeri antah berantah, tahun 2000 dulu, saya sempat terbengong dan terkagum melihat kebiasaan orang di supermarket membayar dengan 'uang plastik'.

Dalam pemahaman saya waktu itu, uang plastik itu ya kartu kredit. Ndak tau dan ndak paham kalau ada kartu bayar lain yang bukan kartu kredit.
Sempat agak minder pada orang2 itu, karena saya dan seorang teman Asia yang lain, 'trimo' membayar dengan uang tunai.
Terkadang, untuk sedikit menghibur diri sendiri, saya berpikir: "Kan jelas dengan begini, kalau kami beneran punya uang, sementara orang2 itu kan pake kartu ngutang"

Kemudian, setelah bekerja dan mengenal beberapa alat pembayaran selain uang tunai, saya mulai membiasakan diri untuk mengurangi menenteng2 uang tunai.
Selain rasanya tidak aman, juga "tidak setil"... nggak keren....

Beberapa bulan yang lalu saya menyadari bahwa kebiasaan itu membuat saya sering 'kebablasan' tidak punya uang sama sekali di dompet maupun di tas.

Pernah suatu ketika, saya dan anak2 makan di sebuah restoran di pinggir Jl Urip Sumoharjo.
FYI, Jln Urip Sumoharjo ini termasuk kategori jalan utama di Jogja.
Nah, setelah pesanan datang ke meja, kami pun mulai makan. Tengah2 kami makan sambil ngobrol, tiba2... deg!! saya teringat kalau tidak punya uang tunai di dalam dompet.
Ada uang Rp 2000 yang hanya cukup untuk ongkos parkir.

Mulailah saya merasa was was dan tidak begitu menikmati makanan. Walaupun berkali2 juga saya menghibur diri: "Ah, masa sih... restoran di pinggir jalan besar begini tidak punya mesin untuk kartu kredit/debet?"

Dan ternyataaa.... restoran itu memang benar2 tidak punya mesin untuk kartu kredit/debet!!


Hal 'kebablasan' lain yang sekarang sering terjadi pada saya adalah: tidak punya pulsa telefon.

Saking banyaknya kontak yang menggunakan layanan messenger gratisan, akhirnya saya terbiasa menggunakan itu untuk sarana komunikasi yang utama.

Jadi, kebiasaan saya hanya mengisi sejumlah uang/pulsa di awal bulan yang hanya cukup untuk membeli paket internet selama bulan itu.

Nah, ketika ada saat saya harus membalas sms atau menelepon balik relasi saya... terpaksa harus tanya kanan kiri sambil pasang tampang memelas, berharap ada yang membolehkan saya membeli pulsa mereka.