Saturday, April 26, 2008

Besok gede mau jadi apa...(Part 1)

Susan...Susan...Susan...

Besok gede mau jadi apa....

Aku kepengen pinter....

biar jadi dokter...

kalau kamu jadi dokter...

kamu mau apa...

aku kepengen suntik orang lewat...

Mungkin masih ada yang ingat, cuplikan diatas adalah sepenggal syair lagu yang dinyanyikan oleh Ria Enes dan bonekanya: Susan, awal tahun 90-an dulu.

Waktu itu saya sudah duduk di kelas 3 SMP. Sudah bisa memprotes pandangan umum ttg korelasi kalimat yang tersirat didalam lagu tersebut: kalau jadi dokter berarti pintar; yang apabila dicari kalimat ingkar-nya menjadi: tidak menjadi dokter berarti tidak pintar...

Jaman saya masih TK dulu (sampai mungkin kelas 3 SD), 95% anak2 kecil teman sebaya saya, kalau ditanya orang ttg apa cita-cita kalau besar nanti pasti jawaban yang keluar adalah: mau jadi dokter ! Heran deh, kok bisa kompak seperti itu. Apakah karena profesi dokter adalah profesi yang benar-benar populer dikalangan kanak-kanak (mungkin karena seringnya mereka sakit dan dibawa kedokter), ataukah karena brainwash para orang tua kepada anak-anaknya.

Kemungkinan pertama rasanya tidak terlalu tepat. Mengingat saya melewatkan masa kecil saya di sebuah kota kecil di awal thn 80-an, dimana kesadaran orang tua membawa anaknya yang sakit ke dokter masih belum begitu tinggi. Apalagi kalau ‘cuman’ sekedar sakit batuk pilek, biasanya akan diobati sendiri dengan menggunakan ramuan tradisional: jeruk nipis+kecap, atau makan rimpang kencur (Kaempferia galanga L.). Atau membeli obat yang dijual bebas di warung.

Jadi, kemungkinan kedua-kah penyebabnya?

Hmmm.... saya (pada waktu itu) juga termasuk anak2 yang spontan akan menjawab: mau jadi dokter, ketika seseorang menanyakan cita-cita saya. Padahal, orang tua saya tidak pernah sekalipun mendikte mau jadi apa anak-anaknya kelak. Pesan orang tua yang selalu digemakan setiap hari hanyalah: jadilah anak pintar ! Orangtua kalian tidak bisa meninggalkan harta benda yang berarti, hanya ilmu yang bisa dibekalkan sebagai alat kalian merubah nasib menjadi lebih baik...

Saya malah masih ingat, terkadang rasan-rasan dengan (alm.) bapak saya: kapan ya saya bisa ke Amerika... Dan jawaban bapak saya selalu sama: mulakno sekolaho sing pinter ben iso tekan Amerika.... (makanya sekolahlah yang pinter biar bisa sampai Amerika...). Dan ketika betul saya bisa sampai Amerika, rasanya jawaban Bapak tersebut terus terngiang di dalam kepala.

Anyway, balik lagi ke masalah cita-cita massal anak-anak sebaya saya pd era thn 80-an yang ingin jadi dokter. Mungkin penyebabnya adalah latah semata. Soalnya, dunia profesi ‘keren’ yang dikenal hanyalah dokter. Jadi, lepas dari benar-benar ada keinginan untuk jadi dokter atau tidak, daripada repot mikir kalo ditanya mendingan ngikut aja jawaban teman2 yang lain. Toh jadi dokter jelas terdengar keren.

Trus kenapa sekarang saya meributkan masalah cita-cita anak-anak pada jaman saya dulu yang (hampir) semua ingin jadi dokter?

Karena sekarang saya punya anak. Dan tentu saja, seperti (hampir) semua orang tua di alam semesta ini, menginginkan anaknya menjadi ‘seseorang yang berarti’ di kemudian hari.

(to be continued)

No comments: