|
|
|
|
|
|
|
Beberapa waktu yang lalu, saya mengalami low-point dalam menjalani peran sebagai ibu rumah tangga, sebagai baby sitter bagi anak-anak saya, sebagai simbok yang mengurusi kerapihan Ndalem Kemuchtaran, sebagai konco wingking yang menunggui suami pulang dari bekerja….
Merasa
bosan karena saya merasa melakukan hal-hal yang tidak berarti. Sering
saya berpikir: kalau hanya ‘sekedar’ pekerjaan remeh temeh seperti yang
saya sebutkan diatas, wanita mana sih yang tidak bisa melakukannya?
Tidak
dibutuhkan seorang lulusan perguruan tinggi bereputasi bagus untuk bisa
menunggu suami pulang kerja. Tidak perlu keahlian seorang engineer untuk bisa menjadi koki dirumah. Tidak perlu score TOEFL tinggi untuk bisa mengajak berbicara 2 anak balita dirumah…dan lain sebagainya…dan lain sebagainya….
Don’t get me wrong ya…. Keputusan saya untuk mendedikasikan hidup sebagai ibu rumah tangga, TIDAK PERNAH dan tidak akan pernah saya sesali.
Hanya
saja saya sering kebingungan melihat hari tiba2 sudah menjadi malam
tanpa saya merasa telah melakukan hal2 yang produktif. Bahkan membaca
buku sekedar beberapa halamanpun sering kali terlewat. Bagaimana tidak,
dengan mengantar anak-anak tidurpun tidak jarang membuat saya ikut jatuh
tertidur. Sampai pagi. Sampai saatnya saya harus melakukan rutinitas
yang sama seperti hari kemarin. Dan hari kemarinnya. Dan hari kemarin
kemarinnya lagi…..
Kadang terlintas dalam pikiran untuk berhenti
sesaat dari segala rutinitas. Mengambil cuti atau hari libur, bepergian
ke tempat yang ingin saya kunjungi. Melakukan hal2 yang tidak bisa
dilakukan ketika harus momong 2 balita.
Suami saya begitu
supportif, dengan segala keterbatasan waktunya dalam ikut mengasuh
anak2 kami. Mendukung keinginan saya untuk sesekali ‘mengambil libur’
dari segala rutinitas harian rumah tangga kami. Bahkan tidak jarang,
sepulang kerja langsung membawa anak2 keluar untuk main bola atau
sekedar jalan2 sekeliling kompleks, membiarkan saya menikmati waktu
luang yang mungkin ‘hanya’ tersedia beberapa menit… Bahkan pernah
mengusulkan saya untuk travelling sendirian ketika jadwal liburnya tiba….
Usul
yang menggoda. Saya suka sekali bepergian. Bagi saya, bepergian seorang
diri bukanlah suatu masalah. Bahkan saya cenderung lebih memilih
bepergian seorang diri daripada harus melakukannya bersama orang lain
yang tidak ‘sealiran’ dengan saya.
Hanya saja,
Saya tidak
akan bisa melakukannya. Pikiran saya sudah tersetel untuk selalu
bersambungan dengan anak2 saya. Berada jauh dari mereka beberapa jam pun
sudah membuat saya dipenuhi banyak pikiran ttg mereka : apakah mereka
baik-baik saja... Apakah mereka tidak sedang nakal… Apakah mereka tidak
sedang diganggu teman2nya…. Apakah mereka memakan sesuatu yang bisa
membuat mereka sakit… Apakah mereka sudah cukup berhati2 ketika sedang
bermain kejar2an …. Dan masih banyak ‘apakah’ lain yang bagi banyak
orang mungkin sedikit ‘parno’ yang tidak penting…
Jadi,
Apakah kemudian hidup saya berubah menjadi sesuatu yang menyedihkan?
Beruntunglah saya, ketika menanyakan hal itu kepada diri sendiri, saya masih bisa menjawab, tidak. Not even close…!
Bahkan
semakin saya memikirkan pertanyaan tersebut, saya semakin malu pada
diri sendiri. Malu karena saya kehilangan kemampuan untuk melihat sisi
baik dari kehidupan saya sendiri. Malu karena saya melupakan betapa
beruntungnya saya mempunyai kehidupan seperti yang saya punya sekarang.
Tidak semua orang bisa memilih menjadi apapun yang mereka inginkan, dan
saya punya kesempatan itu. Yang harus saya lakukan sekarang adalah
menjalani dengan sebaik-baiknya.
Selalu melihat apa yang dimiliki orang lain terkadang membuat kita lupa untuk bersyukur atas apa yang telah kita miliki.
Saya
mulai belajar (lagi) melihat segala sesuatunya dari dua sisi. Hal2 yang
semula memberatkan saya, yang membuat saya berpikir tidak bahagia dan
terbeban, Alhamdulillah mulai berubah….
Alangkah meruginya saya
apabila kehilangan waktu yang berharga bersama anak-anak…
Waktu tidak akan berputar balik, sebulan saja saya kehilangan waktu
bersama anak2, saya tidak akan bisa memutar waktu untuk mengganti
kehilangan kebersamaan kami.
Memasak yang sebenarnya selalu
menjadi ‘keinginan tersembunyi’ , akhirnya punya jatah waktu dalam
daftar kegiatan saya. Suami dan anak2 selalu menjadi sukarelawan yang
baik dalam mencicip hasil masakan saya yang lebih banyak gagalnya
daripada berhasilnya…. (untung selalu ada restoran di dekat kami
tinggal…he he he). Ditambah lagi, dengan kesadaran saya yang agak
terlalu berlebihan akan ‘gizi baik dan kebersihan makanan’ membawa
dampak baik bagi kesehatan kami sekeluarga.
Saya lebih dari sekedar konco wingking
untuk suami. Karena kebetulan kami pernah bekerja dalam bidang yang
sama, banyak topik percakapan bisa sambung menyambung tanpa harus
disertai penjelasan yang bertele-tele. Dimana lagi saya punya teman yang
bisa ‘klik’ dalam banyak hal kecuali di rumah saya sendiri?
Jadi, temans…
Berpikir
positiflah dalam banyak hal….. jangan lupa bersyukur dan selalu
bersyukur atas apa yang telah kita miliki…. Hilangkan segala prasangka
buruk bahkan terhadap keadaan….
Menjadi bahagia atau tidak bahagia adalah pilihan kita sendiri….. Dan saya telah memilih untuk menjadi bahagia....
| | | | | | |
No comments:
Post a Comment