Seminggu setelah Abang masuk 'sekolah' barunya, saya mendapat cerita yang mengejutkan dan cukup membuat shock. Abang bercerita tentang salah seorang temannya yang dipukul oleh Auntie di sekolah. Yang dimaksud dg Auntie ini adalah asisten Ibu Gurunya. Saat itu juga saya (S) mengorek keterangan lebih jauh dari Abang (A);
S : Kenapa teman abang tadi dipukul? Nakal dia tadi di sekolah?
A : Iya..
S : Ibu Guru tadi lihat nggak kalau Auntie pukul teman Abang?
A : Enggak. Soalnya kan dia sibuk mengurusi anak yang lain..
S : Trus teman Abang itu tadi nangis nggak?
A : Iya lah, Ma. Kan kalau dipukul itu sakit.
Dan Abangpun me-reka ulang adegan pemukulan disekolahnya. Dengan menggunakan penepuk lalat, dia memukul punggung saya. Well, tidak sakit sih sebenarnya, tapi siapa sih yang suka dipukul... Dan dengan alasan apapun juga, saya tidak menyetujui pemukulan terhadap anak-anak. Apalagi anak orang lain... (apalagi anak saya yang dipukul oleh orang lain...). Yang namanya nakal itu kan wajar. Namanya juga anak-anak...
Trus saya tanya lagi si Abang;
S : Kalau Abang, pernah nggak dipukul waktu di sekolah?
A : Enggak
Hmmm... bukan jawaban yang cukup melegakan saya. Karena, dalam pemikiran saya, enggak bisa juga berarti belum. Jadi, saya wanti-wanti dan berpesan pada Abang;
S : Abang, Mama dan Papa mengirim Abang ke sekolah ini karena Mama dan Papa kepingin Abang belajar. Jadi, Abang be good boy, tidak boleh nakal dan mengganggu teman2, dengarkan kata Ibu guru... Tapi, kalau suatu ketika Abang dipukul, Mama mau Abang bercerita pada Mama atau Papa. Mama tidak suka anak Mama dipukul oleh siapapun juga. Abang mengerti maksud Mama?
A : Iya, Ma...
Dan pembicaraan ttg hal tersebut diakhiri dengan mengulangi statement saya diatas dan memastikan bahwa Abang mengerti sejelas-jelasnya maksud saya.
Sebelumnya bercerita lebih lanjut, ada baiknya saya bercerita sekilas tentang sekolah Abang ini.
Menurut saya pibadi sih, sebetulnya tidak tepat kalau tempat ini disebut sebagai sekolah. Penyebutan istilah sekolah hanya untuk mempermudah saya menyebutkan nama tempat tersebut kepada anak-anak.
Dengan bertempat di sebuah apartement yang hanya berjarak beberapa gedung dari tempat kami tinggal, sekolah ini dikelola oleh seorang ibu rumah tangga berkebangsaan India. Banyak anak-anak (dengan kisaran usia antara 2.5 thn - 5 thnan) dengan berbagai kebangsaan dititipkan di tempat ini. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan mereka memasuki sekolah formal. Jumlah anak yang dititipkan disitu (menurut saya) terlalu banyak untuk jumlah ideal murid satu kelas. Delapan belas balita dalam satu 4x4 m2 ruangan !!
Yang mengawasi dan mengajari mereka adalah satu ibu guru ditambah satu asisten pengajar (yang saya yakin tidak memiliki bekal ilmu sebagai pengajar dan pendidik anak-anak).
Well, pasti ada yang bertanya2, kenapa nada saya pesimis dalam menggambarkan sekolah Abang?
Jawabannya adalah: karena pada dasarnya saya tidak terlalu suka menitipkan Abang disana. Tapi ada beberapa pertimbangan yang membuat kami tidak bisa menentukan lain. Antara lain:
1. Tahun ajaran baru di sini sudah dimulai pada bulan September. Sekolah favorit tidak mau menerima murid baru ditengah2 tahun ajaran. Jadi, mau tidak mau, si Abang ini ya harus menunggu sampai bulan September kalau tetep mau masuk sekolah favorit disini.
2. Rencana semula, saya mau home-schooling Abang di rumah. Tapi ternyata ada 2 balita dengan beda umur (yang jelas juga jadi beda minat), ternyata hal tersebut sulit sekali untuk dilakukan.
3. Karena belum bisa dapat SIM, saya tidak bisa beranjak jauh dari rumah tanpa kawalan suami. Jadinya, the one and only option buat kami ya tempat ini lah..
Kembali lagi ke kasus pemukulan teman Abang disekolah tadi. Pada suatu ketika, saya berkunjung ke rumah Fitri. Kebetulan, disela-sela ngobrol ngalor ngidul, saya sempat bercerita ttg kisah tersebut diatas. Komentar Fitri membuat saya menyadari suatu fakta yang tidak saya tahu sebelumnya.
"Lha kan memang orang disini kayak begitu memperlakukan anak2nya, Wid. Makanya nggak heran kalau sering mendengar kasus pemukulan terhadap pembantu (TKI, red.). Lha wong sama anak sendiri saja ringan tangan bgitu, apalagi sama orang lain. Pembantu pula..."
Saya jadi ingat suatu kejadian yang saya lihat ketika pertama kali jalan2 ke IKEA dulu. Ada seorang ibu2 Arab membawa 2 orang anaknya (sekitar seumuran 3 thn dan 5 thn). Ketika seorang anaknya mencoba memegang furniture yang dipajang, mendadak si ibu (yang sudah berjalan beberapa meter didepan) menghampiri si anak dengan langkah panjang dan tergesa. Saya pikir mau menggandeng anaknya, karena kuwatir anaknya tertinggal jauh dibelakang. Eh, lha kok si anak perempuan ini, begitu melihat ibunya datang, langsung pasang posisi melindungi diri dengan kedua tangan kecilnya, seakan2 ada orang yang mau 'menyerang' kepalanya. Masyaallah... saya sampai menghentikan langkah sejenak dan bengong...
Pada tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda, saya berkesempatan ngobrol dengan salah seorang ibu teman sekolah Abang. Saya selipkan juga cerita diatas, ttg teman sekolah anak2 yang dipukul sama Auntie. Eh, lha kok ibu itu juga punya cerita yang tidak kalah bikin saya herannya loh...
"Dulu Rofi (nama anaknya) juga pernah di'tonyo' kepalanya (he he he, apa sih bahasa Indonesia-nya di'tonyo'? Itu loh, gerakan mendorong dahi orang lain, sebagai bahasa tubuh membodohkan orang lain) gara-gara diajarin menulis tapi nggak bisa-bisa..."
"Trus, gimana dong, Mbak? Masak diam aja anak diperlakukan begitu sama orang lain?" tanya saya, tanpa bermaksud ngomporin.
"Ya saya bilang aja sama Rofi: lain kali, kalo dibegitukan lagi, bilang sama Ibu Guru kalo Rofi mau laporkan sama ayah. Biar ndak sekolah disini lagi..."
Wahh... kalau menurut saya, itu sih bukan solusi yang cukup bagus...
Iseng-iseng saya bercerita pada salah seorang teman baik saya ttg runtutan kisah tersebut diatas. Komentarnya cukup singkat, tapi pas banget "Pantesan org2 Arab susah bgt diajak hidup damai... Dari kecil aja sudah diajarin kekerasan".
Well, cerita saya diatas tidak bermaksud untuk mendiskreditkan orang2 Arab loh, ya. Saya hanya menceritakan pengalaman dan pemahaman yang saya dapat dari mengamati perilaku sekitar saya. Saya yakin, tidak semua orang Arab mendidik anak2nya dengan kekerasan. There always be anomalies in every aspect of life... Cuman masalahnya, yang mana yang masuk kategori anomali, dan yang mana yang dibilang sebagai "normal" disini, wallahualam...
No comments:
Post a Comment