Tuesday, January 29, 2008

mimpi

Terbangun tadi pagi dengan perasaan geli di dalam hati.

Tadi malam saya mimpi, saya disandera oleh sekelompok orang Haliburton dalam rangka menyabot project saya.

He he he, pagi ini saya jadi mikir: sudah sedemikian jauhkah Schlumberger mem-brainwash otak saya..
Question Mark



PS. ini cuman mimpi loh ya.. Tidak ada maksud dan kepentingan apapun juga untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Peace...

Sepucuk Surat dari Seorang Ayah

by : Unknown

Aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Tuhan yang tahu…

Nak, menjadi ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti kelahiranmu dulu, belum hilang hingga saat ini.
Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang di cintai belum sekalipun kutemui.

Nak, menjadi ayah itu mulia.
Bacalah sejarah Nabi-nabi dan Rasul, serta temukanlah betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah pada anak-anaknya. Meskipun demikian, ketahuilah nak, menjadi ayah itu berat dan sulit. Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu disisiku, aku seperti menemui keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu.
Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku banggakan di depan siapapun, bahkan di hadapan Tuhan, ketika aku duduk berduaan berhadapan denganNya, hingga saat usia senja ini.

Nak, saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua.
Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata: “TIDAK”, timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya.
Engkau bukan mulikku, atau ibumu,nak.
Engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu.
Engkau adalah milik Tuhan. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk Tuhan.

Syukurlah, penyesalan itu mencerahkanku. Sejak saat itu nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan segala sesuatu karenaNya, bukan karena aku dan ibumu. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau di kagumi dan dicintai Tuhan.

Inilah usaha terberatku nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh kepadamu dekat dengan Tuhan. Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan keinginan Tuhan. Agar perjalananmu mendekatiNya tak lagi terlalu sulit. Kemudian kitapun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan Lumpur hitam. Aku Cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain. Agar dapat kau rasakan perjalanan rohaniah yang sebenarnya. Saat engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh berhenti nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus airmatamu, ketika engkau hampir putus asa.

Akhirnya nak, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Tuhan, dan kudapati jarakku amat jauh dariNya, aku akan ikhlas, karena seperti itulah aku di dunia. Tapi kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Tuhan. Aku akan bangga nak, karena bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan kepada pemiliknya.

Monday, January 28, 2008

Obrolan ringan dg sopir taksi

Sore tadi saya keluar rumah untuk satu keperluan. Karena mendung tebal, dan saya kuwatir hujan turun ditengah perjalanan, saya mengurungkan niat untuk naik bis kota. Sebagai gantinya saya menyetop taksi yang kebetulan melintas di depan gapura jalan ke rumah saya. Dan terjadilah obrolan antara supir taksi (ST) dan saya (W).

ST : Slamat siang, Mbak.

W : Slamat siang, Pak. Ke LBC ya, Pak.

ST : LBC itu dimana, Mbak? Di Kotabaru ya?

W : Bukan, di Jln Solo situ, Pak. Dah, Bapak jalan terus aja nanti saya tunjukkan jalannya. Lewat Seturan ya, Pak.

Terdiam sesaat. Tapi rupanya bapak supir taksi itu sedang mood untuk ngobrol.

ST : LBC itu lembaga apa sih, Mbak?

W : (nahan ketawa) lembaga apaan, Pak. LBC itu salon kecantikan.... Bapak pikir itu kayak LSM gitu ya...

ST : Oooo.....

Terdiam lagi. Saya sebenarnya lagi males ngobrol, apalagi dengan orang asing.

ST : Kalo Mbak ini seringnya naik taksi apa?

W : Halah... saya sih naik bis kota aja, Pak. Nggak kuat di ongkos kalo naik taksi. Ini karena mendung tebal aja saya jadi naik taksi.

ST : Ooo... Mbak ini masih kuliah atau sudah kerja sih?

W : Nggak kuliah, nggak kerja. Saya ibu rumah tangga.

Saya sudah mulai mikir, kayaknya si Pak supir taksi ini bener2 butuh teman ngobrol.

ST : Tapi dulu pernah kuliah kan?

W : Alhamdulillah pernah, Pak.

ST : Dimana, Mbak?

W : Di Jogja sini aja. UGM.

Si Bapak terdiam sesaat, entah apa yang dipikirkannya. Trus beliau melanjutkan komentarnya.

ST : Sayang sekali ya, Mbak. Kok cuman jadi ibu rumah tangga..

Eehhh.... ini dia. Saya yang tadinya ogah-ogahan melayani obrolan bapak itu, jadi agak naik tensi.

W : Eh, jangan salah ya Pak. Orang kuliah kan tidak harus jadi kuli yang bekerja di suatu instansi atau perusahaan. Kalo orang kuliah pinter dan jadi ibu rumah tangga yang pinter, anak-anaknya insyaallah jadi anak pinter juga kan.

ST : Lha iya sih, Mbak. Cuman kan kayaknya sayang aja gitu...

Ohalah....

Dan perjalanan saya berakhir sudah di seberang jalan, depan LBC. Karena kebetulan saya tidak punya uang pas untuk ongkos taksi, saya relakan saja uang kembalian jadi tip untuk pak sopir. Dalam hati saya berkomentar: "Tuh kan, pak. Biar 'cuman' ibu rumah tangga saya enggak pelit ngasih tip...."

Saturday, January 26, 2008

Obituari

Innalilahi wa inailaihi roji'un... telah meninggal dunia dengan tenang, Soeharto, mantan presiden RI yang ke 2 hari ini Minggu 27 Januari 2008 13:10 WIB.

Semoga arwah beliau mendapat tempat yang sebaik-baiknya disisi Allah SWT, diterima segala amal ibadah beliau dan juga keluarga yang ditinggalkan mendapat ketabahan dan keikhlasan dalam melepas almarhum...

Kami sekeluarga ikut berdukacita yang sedalam-dalamnya...

Tuesday, January 22, 2008

Ninoku naik bis kota

Ngeluyur tetep jalan terus biarpun sudah nggak punya mobil. Lha mau gimana lagi, kalo ngendon dirumah terus, krucil-krucil itu bikin heboh dengan berkelahi tiap 5 mnt sekali.

Selama ini Nino belum pernah naik sarana transportasi umum kecuali pesawat. Karena, untuk alasan kepraktisan, saya jarang mengajak dia bepergian. Habis, pasti ribet sih ya ngajak anak seumuran itu kalo tidak membawa kendaraan sendiri. Yang harus nenteng susu lah, diapers lah, baju ganti lah, dll, dll. Belum lagi pasti abangnya nggak rela ditinggal dirumah kalau tahu adiknya diajakin pergi.

Nah, beberapa hari yll saya bertekad membawa si kecil dan si besar jalan-jalan mencoba naik beberapa public transportation. Dimulai dengan bis kota kuning (yang terkenal dg full copet) sampai ke Mirota Kampus UGM. Trus dilanjut dengan bis kota oranye jalur 4 sampai ke Gondolayu. Dari situ kemudian naik becak ke Kotabaru. Perjalanan kemudian diakhiri dengan naik taksi pulang ke rumah.

Melihat ekspresi Nino ketika naik bis kota, saya hampir mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan. Bagaimana tidak, mukanya yang kelihatan takut dan menderita banget. Sambil dipangku, dia berpegang kuat-kuat pada tangan si Embak. Begitupun naik bis yang kedua. Wajahnya mulai kelihatan ceria ketika diajak naik becak.

Hmmm.... jadi, perlu ditraining beberapa kali lagi nih supaya bisa enjoy naik bis kota. Lha wong emaknya penggemar bis kota jeh....

Thursday, January 17, 2008

Menunggu Kematian Paman Gober

Sang Presiden BBM, Si Butet Yogya tampil membacakan cerita pendek pada penyerahan Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2007 di teater studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (9/1/08) malam. Kisah ttg Paman Gober yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma pada tahun 1994.

Kematian Paman Gober ditunggu-tunggu semua bebek. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang disana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah.

Begitu kayanya Paman Gober, sehingga ia tak bisa hafal lagi pabrik apa saja yang dimilikinya. Bila terlihat pabrik di depan matanya, ia hampir selalu berkata, "Oh, aku lupa, ternyata aku punya pabrik sepatu."
Kejadian semacam ini terulang di muka pabrik sandal, pabrik rokok, pabrik kapal,pabrik arloji, maupun pabrik tahu-tempe. Boleh dibilang, hampir tidak ada pabrik yang tidak dimiliki Paman Gober. Ibarat kata, uang dicetak hanya untuk mengalir ke gudang uang Paman Gober.

Meskipun kaya raya, anggota klub milyarder no.1, Paman Gober adalah bebek yang sangat pelit. Bahkan kepada keluarganya, Donal bebek, ia tidak pernah memberi bantuan, meski Donal telah bekerja sangat keras malah Donal ini, beserta keponakan-keponakan nya Kwak, Kwik, dan Kwek, hampir selalu diperas tenaganya, dicuri gagasannya, dan hasilnya tidak pernah dibagi. Cendekiawan jenius Kota Bebek, Lang Ling Lung, yang dimuka rumahnya tertera papan nama Penemu, Bisa Ditunggu, pun hampir selalu diakalinya.


Sudah berkali-kali Gerombolan Siberat, tiga serangkai kelas kakap, menggarap gudang uang Paman Gober, namun keberuntungan selalu berada dipihak Paman Gober. Paman Gober tak terkalahkan, bahkan oleh Mimi Hitam, tukang tenung yang suka terbang naik sapu. Sudah beberapa kali Mimi Hitam berhasil merebut Keping Keberuntungan, jimat Paman Gober, namun keping uang logam kumuh itu selalu berhasil direbut kembali. Tidak bisa dipungkiri, Paman Gober memang pekerja keras. Masa mudanya habis dilorong-lorong gua emas. Sebuah gunung emas yang ditemukannya menjadi modal penting yang telah melambungkannya sebagai taipan tak tersaingi dari Kota Bebek.


Suatu hal yang menjadi keprihatinan Nenek Bebek, sesepuh Kota Bebek yang mengasingkan ke sebuah pertanian jauh di luar kota, adalah kenyataan bahwa Paman Gober dicintai kanak-kanak sedunia. Paman Gober menjadi legenda yang disukai. Paman Gober begitu rakus. Paman Gober begitu pelit. Tapi ia tidak dibenci. Setiap kali ada orang mengecam,menyaingi, pokoknya mengancam reputasi Paman Gober sebagai orang kaya, justru orang itu tidak mendapat simpati. Paman Gober bisa menangis tersedu-sedu meski hanya kehilangan uang satu sen. Ia sama sekalli bukan tokoh teladan, tapi mengapa ia bisa begitu dicintai?


"Dunia sudah jungkir balik," ujar Nenek Bebek kepada Gus Angsa, yang meski suka makan banyak, sangat malas bekerja. Namun Gus Angsa sudah tertidur sembari bermimpi makan roti apel.

"Suatu hari dia pasti mati," ujar Kwik.

"Memang pasti, tapi kapan?" Kwak menyahut.

"Kwek!" Hanya itulah yang bisa dikatakan Kwek.

Dasar bebek.


Begitulah, setiap hari, Lubas, anjing dirumah Donal, membawa koran itu dari depan pintu ke ruang tengah.

"Belum mati juga!"

Donal segera membuang lagi koran itu dengan kesal. Karena memang tiada lagi berita yang bisa dibaca di koran. Banyak kabar, tapi bukan berita. Banyak kalimat, tapi bukan informasi. Banyak huruf, tapi bukan pengetahuan. Koran-koran telah menjadi kertas, bukan media.


Semua bebek memang menunggu kematian Paman Gober. Itulah kabar terbaik yang mereka harapkan terbaca. Paman Gober sendiri sebenarnya sudah siap untuk mati. Maklumlah, sebagai generasi tua di Kota Bebek, umurnya cukup uzur. Untuk kuburanya sendiri, ia telah membeli sebuah bukit, dan membangun mausoleum (ket: kompleks kuburan megah) di tempat itu. Jadi, bukanya Paman Gober tidak mau mati. Ia sudah siap untuk mati.

"Mestinya, bebek seumur saya ini, biasanya ya sudah tahu diri, siap masuk ke liang kubur. Makanya, ketika saya diminta menjadi Ketua Perkumpulan Unggas Kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya, sampai beberapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada bebek lain yang mampu menjadi ketua?"

Kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, Pergulatan Batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mangisahkan bagaimana Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan. Bab terakhir diberi judul Sampai Kapan Saya Berkuasa?. Memang, Paman Gober adalah ketua terlama Perkumpulan Unggas Kaya. Entah kenapa, ia selalu terpilih kembali, meski pemilihan selalu berlangsung seolah-olah demokratis. Begitu seringnya ia terpilih, sampai-sampai seperti tidak ada calon yang lain lagi.

"Terlalu, masak tidak ada bebek lain?"

Paman Gober selalu berbasa-basi. Namun, entah kenapa, kini bebek-bebek menjadi takut. Paman Gober, memang, terlalu berkuasa dan terlalu kaya. Setiap hari yang dilakukannya adalah mandi uang. Ketika Donal Bebek bertanya dengan kritis, mengapa Paman Gober tidak pernah peduli kepada tetangga, bantuan keuangannya kepada Donal segera dihentikan.

"Kamu bebek tidak tahu diri, sudah dibantu, masih meleter pula."

"Apakah saya tidak punya hak bicara?"

"Bisa, tapi jangan asal meleter, nanti kamu aku sembelih."

"Aduh, kejam sekali, menyembelih bebek hanya dilakukan manusia."

"Ah, siapa bilang bebek tidak kalah kejam dari manusia."

"Lho, manusia makan bebek, apakah bebek makan manusia?"

"Yang jelas manusia bisa makan manusia."

"Tapi Paman mau menyembelih sesama bebek, apakah sudah mau meniru sifat manusia?"

Paman Gober mempunyai banyak musuh, namun Paman Gober suka memelihara musuh-musuh yang tidak pernah bisa mengalahkannya itu, justru untuk menunjukkan kebesarannya. Paman Gober sering muncul di televisi. Kalau Paman Gober sudah bicara, kamera tidak berani putus, meskipun kalimat-kalimatnya membuat bebek tertidur. Paman Gober selalu menganjurkan bebek bekerja keras, seperti dirinya, dan Paman Gober juga semakin sering menceritakan ulang jasa-jasanya kepada warga Kota Bebek.

"Coba, kalau aku tidak membangun jalan, air mancur, dan monument, apa jadinya Kota Bebek?"

Tidak ada yang berani melawan.

Tidak ada yang berani bicara.

"Paman Gober," kata Donal suatu hari, kenapa Paman tidak mengundurkan diri saja, pergi ke pertanian seperti Nenek, menyepi, dan merenungkan arti hidup? Sudah waktunya Paman tidak terlibat lagi dengan urusan duniawi."

"Lho, aku mau saja Donal. Aku mau hidup jauh dari Kota Bebek ini. Memancing, main golf, makan sayur asem, dan membaca butir-butir falsafah hidup bangsa bebek. Tapi, apa mungkin aku menolak untuk dicalonkan? Apa mungkin aku menolak kehormatan yang segenap unggas? Terus terang, sebenarnya sih aku lebih suka mengurus peternakan."

Maka hari-hari pun berlalu tanpa penggantian pimpinan. Demokrasi berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada atu pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan. Para pelajar seperti Kwik, Kwek, dan Kwak menjadi bingung bila membandingkannya dengan sejarah kepemimpinan kota lain. Kota Bebek seolah-olah memiliki pemimpin abadi. Generasi muda yang lahir setelah Paman Gober berkuasa bahkan sudah tidak mengerti lagi, apakah pemimpin itu memang bisa diganti. Mereka pikir keabadian Paman Gober sudah semestinya.

Dan itulah celakanya kanak-kanak mencintai Paman Gober. Riwayat hidup Paman Gober dibikin komik dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Bebek terkaya yang sangat pelit dan rakus ini menjadi teladan baru. Nenek Bebek tidak habis pikir, mengapa pendidikan, yang mestinya semakin canggih, membolehkan budi pekerti seperti itu. Generasi muda ingin meniru Paman Gober, menjadi bebek yang sekaya-kayanya, kalau bisa paling kaya di dunia.

"Paling kaya di dunia?" Kwak bertanya.

" Iya, paling kaya di dunia," jawab Nenek Bebek.

"Apakah itu hakikat hidup bebek?"

"Bukan, itu hakikat hidup Paman Gober."

Sementara itu, nun di gudang uangnya yang sunyi, Paman Gober masih terus menghitung uangnya dari sen ke sen, tidak ditemani siapa-siapa. Matanya telah rabun. Bulunya sudah rontok. Sebetulnya ia sudah pikun, tapi ia bagai tak tergantikan.

Semua bebek menunggu kematian Paman Gober. Tiada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang ingin meraka ketahui hanya satu : apakah hari nin Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan membaca berita Kematian Paman Gober, dihalaman pertama.

Wednesday, January 9, 2008

si Abang sudah besar

Biasanya, kalau saya sedang kumat gemesnya sama anak-anak, yang saya lakukan adalah mengacau rambut mereka trus mencium2 kepala. Biasanya berlanjut dengan kitik-kitik sedikit, trus berakhir dengan tertawa.

Tadi pagi, setelah mandi pagi dan sebelum sarapan, saya iseng lewat dibelakang abang. Ketika sekilas melihat rambut ikalnya, mendadak muncul gemes saya. Langsung aja saya kacau2 rambutnya sambil saya ciumi kepalanya. Ehhh... tidak seperti biasanya, kali ini komentarnya sudah berbeda.

"Jangan dong, Mama. Nanti Abang nggak ganteng lagi !" sambil menarik kepalanya menjauhi saya.

Waakksss.... anakku sudah nggak mau lagi disayang-sayang sama mamanya... Hu hu hu, sedih deh...

pengalaman menakutkan

I just got a thrilling experience this evening. Sore ini saya harus belanja beberapa barang logistik rumah untuk persediaan beberapa hari, karena hari besok mobil mau diambil oleh si empunya . Jadi, saya berangkat sekitar jam 19:30-an dari rumah menuju ke Amplaz (Ambarukmo Plaza, red.) sendirian. Sampai di pintu parkir, kecepatan mobil harus melambat karena antrean untuk masuk ke area parkir cukup panjang. Seperti biasa, saya memilih parkir di lower ground karena alasan familiar dan gampang. Begitu sampai pada kelokan pertama, mobil saya tidak boleh masuk karena sudah penuh (padahal mobil didepan saya persis, masih bisa masuk loh...). Jadi, saya diharuskan untuk naik ke lantai berikutnya.

Nah, disinilah bagian yang menakutkan itu dimulai. Mungkin bagi orang lain, naik ke lantai atas areal parkir adalah hal yang biasa. Tapi definitely tidak bagi saya. Yang pertama, saya mantan phobia ketinggian. Well, mungkin bukan benar2 phobia yang parah, tapi kalau saya berada di ketinggian lebih dari 2 kali tinggi badan saya dengan luasan bidang injak yang tidak terlalu lebar, langsung deh rasa lemas pada kaki dan mual pada perut mulai beraksi. Thing went better setelah beberapa lama saya bekerja sebagai engineer logging, dimana salah satu bagian dari pekerjaan saya adalah naik turun rig dengan tinggi bervariasi. Tapi, ketika saya kembali lagi ke dunia yang beradab* rasanya phobia itu kembali lagi.

Yang kedua, dalam setahun ini sudah ada 2 cerita pagar alur parkir ditabrak mobil di salah satu pusat pertokoan di Jakarta. Kejadian yang pertama membawa korban satu keluarga yang terdiri dari 3 orang (atau 4 ya?) meninggal. Dan berita itu mempertegas keengganan saya untuk parkir terlalu jauh dari permukaan tanah.

Dengan berbekal dua alasan tersebut, saya jelas tidak akan memilih parkir lebih tinggi dari 2 level. Tapi apa daya, malam ini adalah malam libur. Sedangkan besok, saya sudah akan tidak punya mobil lagi. Sementara saya masih harus beberapa hari menghidupi anak-anak saya (sebuah cara pengungkapan yang cukup dramatis yak...). Jadi, saya bulatkan tekad dan memantapkan hati untuk menerjang segala rintangan. Halah....

Level pertama lewat dengan lancar, karena kebetulan beberapa hari yang lalu saya sempat tidak kebagian parkir juga di lower ground, jadi mau tidak mau harus juga naik ke atas. So, bisa dikatakan saya sudah 'berlatih' untuk level ground floor. Dan, tetap tidak ada tempat kosong di level ini. Terpaksa deh naik lagi ke lantai berikutnya. Hasilnya? Penuh..nuh...nuh... Dengan hati berat, saya naik ke level selanjutnya: 1st floor. Penuh lagi....

Sudah kecut hati saya. Biarpun AC didalam mobil sudah terpasang cukup dingin, tetap saja keringat mulai menetes. Karena sudah naik cukup jauh, saya tekadkan untuk tetap mencari parkiran kosong. Sambil membayangkan diapers dirumah habis, sereal habis, sabun mandi tinggal sedikit.... Di atas 1st floor, ternyata bukan 2nd floor, tetapi mezziani floor. Dan, shoot...!! ternyata disitu tidak dibuka untuk parkir. Berarti saya tetep harus naik ke level selanjutnya.

Kaki sudah berasa menolak untuk mematuhi perintah. Tapi akal sehat saya menyuruh untuk tetap terus. Come on, you've been this far... Jadilah saya naik ke 2nd floor. Dan, sekali lagi tempat itu tidak dibuka untuk area parkir. Oke, saya akan naik sekali lagi, but I promised myself, this will be my last attempt for parking space. Otak saya sudah tidak terlalu bisa berpikir jernih. Kaki sudah setengah menolak untuk bekerja sama dengan baik. Dada saya deg-degan hebat, keringat dingin sudah membasahi punggung.

Akhirnya saya sampai di 2nd floor mezziani. Dan.... kebagian last space di lantai itu untuk memarkir mobil saya. Fiuuu.....